Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Si Bayi Kecil

anakpatirsa's picture

SETELAH sekian lama, rasa itu kembali muncul. Satu dua tahun ini, ketika mengepak barang, aku hanya sekedar memasukan pakaian bersih ke dalam tas, tanpa ada rasa apa-apa. Tidak seperti dulu, ketika mengepak barang, ada rasa senang karena sebentar lagi bisa merasakan suasana kampung halaman.

      Kampungku memang sudah berubah, tidak ada apapun yang membuatku benar-benar ingin melihatnya lagi. Teman-teman sepermainan sudah punya segudang masalah, sehingga tidak bisa kuajak bernostalgia tentang masa lalu. Ibu mereka, jika masih hidup, hanya mengingat diriku sebagai anak kecil yang dulu masuk rumah orang seenaknya. Anak mereka, makhluk-makhluk kecil yang bermain di jalan itu, membuatku merasa sangat tua.

      Tetapi sekarang ada rasa yang muncul, ada seseorang yang ingin kutemui. Aku tahu ia belum punya perasaaan yang sama, ia terlalu muda untuk menyadarinya. Aku tidak peduli, aku tetap ingin datang dan melihatnya. Bila ia sedang tidur, aku tidak peduli, aku pasti langsung mencium dan memeluknya. Mungkin nanti ia hanya membuka mata sebentar lalu tidur lagi, atau langsung menangis karena menganggap diriku orang asing yang mengganggu tidurnya.

      Aku tidak peduli. Aku akan tetap mencium dan memeluknya.

      Aku tidak pernah menyangka akan selalu ingin dekat dengannya. Padahal ketika mengetahui adikku berencana melahirkan di kota, aku sudah membayangkan kerepotan yang harus kudapatkan. Aku senang ketika adikku mulai sakit perut, aku masih tinggal lama di Jakarta. Aku tidak harus ikut repot-repot. Aku tinggal pulang dan melihat si kecil yang sudah lahir, tetapi sampai aku menginjakkan kaki di bandara, bayi kecil itu sama sekali tidak mau keluar dari perut ibunya. Dan bosku, seolah-olah curiga aku mencari alasan melarikan diri, ia melarangku datang ke kantor.

      Aku senang ada membuatku ingin pulang.

      Kubuka kain penutup ayunannya. Aku kaget karena ia tampak jauh lebih besar dari yang kubayangkan, aku sampai berkata, "Wah, terlalu gemuk ini." Ibunya langsung membantah, "Itu karena kamu sudah lama tidak melihatnya."

      Ia memang terlalu gemuk, tetapi itu tidak bisa mencegahku memasukkan kepala ke dalam ayunan, lalu mencium pipinya. Seharusnya aku tidak pernah mendapat kesempatan ini, waktu masih dalam kandungan ibunya, aku pernah membuatnya hampir terbunuh. Waktu itu adikku menjerang air, ia yang tidak tahu pegangan ceret itu sudah mau patah, malah mengisinya sampai penuh. Padahal selama ini aku hanya mengisinya untuk segelas air saja. Saat ceret itu bernyanyi, dan ia mengangkatnya, entah kekuatan apa yang membuatnya mampu mencegah air mendidih itu membakar perutnya yang mengembung.

      Aku senang bisa melihatnya meringkuk dalam ayunan. Ia membuka matanya sebentar, lalu menggeliat—kebiasaannya kalau merasa puas dengan tidurnya—kemudian tidur lagi.

      "Mah," teriak adikku, "Si Dede ini masih ingat. Melihat itu om-nya yang dulu suka menganggu dia, ia langsung tidur lagi."

      "Kacian deh, kamu," ejek adikku.

      Aku tidak peduli.

      "Aku sudah tahu," tiba-tiba ibuku muncul, "kamu tidak bakalan berpikir lama kalau mau pulang."

      Ia benar.

      Makhluk kecil itu sudah bangun ketika aku merakit ayunan listrik yang pasti membuatnya makin gemuk. Ia menonton apa yang kulakukan tanpa kelihatan peduli siapa diriku. Aku tidak perlu berkecil hati, ia terlalu muda untuk mengenal bahkan ibunya sendiri. Menyusui ternyata tidak sekedar memberi makan, tetapi itu yang tidak bisa dilakukan adikku. Dan karena tidak mungkin membawa bayi berumur kurang dari empat bulan naik turun bukit melewati jalan becek penuh kubangan, si bayi harus tinggal di rumah. Ketika hari Sabtu tiba, si bayi hanya menatap ibunya yang sangat merindukannya. Ia sibuk sendiri, seolah-olah ibunya hanya tamu yang sedang gemas melihatnya.

      Aku senang bisa pulang.

      Kuhabiskan waktu bersamanya. Untuk pertama kali, setelah bertahun-tahun, aku pulang tanpa menyentuh komputer. Kuhabiskan waktu bersama makhluk yang bisa kupeluk dan kucium tanpa peduli ia sedang tidur atau tidak. Dan aku senang bisa mengejek suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya ketika belajar berbicara. Sesuatu yang ia lakukan sambil berusaha memasukan semua jari-jari mungilnya ke dalam mulutnya yang juga kecil.

      Namun semua ada akhirnya. Si ibu menggendong bayinya, bersama ipar dan ibuku, mereka berdiri di teras melepas kepergianku. Si bayi hanya menatap ke arahku. Ia belum mengerti, ia tidak sedih melihatku pergi.

      Aku yang sedih.

      Kulihat adikku juga sedih. Besok ia juga harus meninggalkan si bayi kecilnya.