Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Ujian Kedewasaan (Prosesi Wisuda)

Priska's picture

Tiba-tiba saja semua mata tertuju
pada kami berdua (red: aku dan mamiku) setelah Pak Dekan itu bertanya. Tatapan
mata yang menantikan suatu jawaban keluar dari mulut mami atau dari mulutku. Tatapan
mata sinis, tatapan mata harap-harap cemas, juga ada tatapan mata yang hanya
ingin sekedar tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi lidahku terasa kelu
dan aku hanya mampu tersenyum kecut berhadapan dengan ratusan mata yang
menatapku (sebenarnya tidak hanya menatapku, tapi juga mamiku :P). Ingin
rasanya terjadi pengangkatan saat itu, supaya aku tidak perlu berucap dan
melakukan apapun. Tapi he he… ternyata Tuhan belum mau menerimaku pulang, jadi
itu harus dihadapi.

Tanpa aku sadari (karena aku
masih bingung dan berfikir atau lebih tepatnya berharap mukjizat), ada suara
memecah keheningan itu. Dan suara itu sangat familiar sekali di telingaku.
Setelah kucari dimana sumber suara itu berasal, ternyata itu dari mulut mamiku.
Mamiku yang menjawab pertanyaan Pak Dekan dan… ya… itu benar mamiku!! Sedikit
aku tidak mempercayainya, tapi itulah kenyataanya. Meski mami menjawabnya
dengan suara sedikit parau (parau termakan usia dan kesedihan yang mendalam),
tapi mamiku menjawabnya. Dia menjawabnya seakan sebagai bukti bahwa dia akan
selalu melindungiku, jadi benteng hidupku. (Wow…How I Love you, Mom)

Pak Dekanku bertanya: Mana
bapaknya??

Setelah beberapa menit berlalu,
mamiku menjawabnya, “Bapaknya tidak ada”

Jawaban itu pun tidak seakan
tidak menjawab pertanyaan Pak Dekan dengan pasti. Dan ratusan mata yang menatap
kami, juga tidak melepaskannya pandangan mereka. Tatapan mereka semakin penuh
tanya dengan jawaban yang diberikan mamiku. Tapi kami berdua langsung bergegas
berjalan ke belakang. Sesampai di belakang, aku lihat mata mamiku sedikit
berair. Yang aku tahu, mami menahan air mata yang sangat banyak, supaya tidak
semakin menimbulkan pertanyaan banyak orang yang hadir di tempat itu.

Kami duduk tidak lama, dan segera
membereskan barang bawaan untuk cepat-cepat pulang tanpa menunggu acara yang
sedang berlangsung selesai. Lalu mami langsung mengajakku untuk meninggalkan
tempat itu, menuju kamar kost ku yang hanya berjarak 5 menit dari kampus.

Cerita di atas adalah penggalan dari prosesi wisudaku
kemarin. Wisuda yang mungkin buat sebagian besar orang merupakan hal yang
dinanti-nanti. Banyak temanku sampai deg-degan menanti hari wisuda, bahkan
sampai tidak bisa tidur. Tapi tidak demikian denganku. Awalnya aku takut dan
justru sedih karena aku wisuda. Bahkan aku sempat berniatan untuk tidak datang
di prosesi wisuda itu (padahal event yang hanya terjadi 1X seumur hidup).
Penyebabnya sih sepele, kemungkinan besar orang tuaku tidak akan hadir di acara
tersebut (mami bilang: kalo kamu ndak mau ninggalin Yesus, jangan anggap aku
mamimu). Padahal waktu prosesi di fakultas, kedua orang tua harus ikut maju ke
depan untuk menemani sang anak menerima ijasah kelulusan. Uh… bisa terbayangkan
betapa malunya aku…. without my parents…?!?!?!?!?!

Aku tak pernah setakut itu. Ketika dihadapkan dengan ibu
kost yang nagih uang kontrakan atau ketika mendekati hari untuk bayar
registrasi… aku bisa memiliki nyali segede singa, tapi ketika itu, aku
bener-bener takut. Takut akan rasa malu yang harus aku tanggung di hari
terakhir aku berada di kampus. Imanku terasa habis. Tapi tiba-tiba…..

Tepat di malam sebelum aku di wisuda, mamiku datang bersama
dengan adikku. Mereka berdua naik motor dari Solo ke Semarang. Di tengah hujan lebat, mami datang
ke kost ku. Dia memberiku satu stel baju kebaya dengan jarik-nya untuk wisudaku
besok harinya. Wow… itu suatu kejutan yang luar biasa buatku. Mamiku tidak
hanya datang tapi juga membawakan satu stel kebaya untukku. Itu tidak seperti
mamiku yang biasanya. Sejak aku ikut Yesus, dia selalu bilang: Dasar anak
durhaka, tidak pernah mau nurut sama orang tua!!! Ya…. itu hadiah terindah
untuk wisudaku dari Tuhan. Mamiku mau datang di acara wisudaku. Wew…Thanks God…

(Thanks juga buat kebaya yang Tuhan beri buatku lewat
mamiku, karena sebenarnya aku ndak ada persiapan apapun untuk wisudaku,
termasuk baju kebaya dan jariknya)

Esok hari di hari wisuda, aku harus bangun jam 4 pagi,
karena harus kumpul jam 6.30 pagi (ke salon dulu, begini & begitu yang…
membuat capek). Setelah prosesi di universitas selesai, dilanjutkan dengan
prosesi di fakultas. Nah, saat itulah aku mengalami apa yang aku sebut sebagai
“ujian kedewasaan”. Ujian yang sudah aku ceritakan di bait-bait awal blog ini.

Total semua yang di wisuda di fakultas 370 wisudawan. Urutan
pertama, jurusan Bahasa Indonesia dilanjutkan jurusanku (bahasa inggris),
bahasa asing, sendratasik, dan terakhir seni rupa. Aku berada di urutan ke 11. 10
orang teman yang ada di depanku, ditemani oleh kedua orang tuanya. Begitu juga
ke 70 teman di belakangku. Hanya aku, satu-satunya wisudawan yang hanya
ditemani oleh mami. Sempet aku merasa sedih dan bimbang untuk ikut acara itu.
Karena pasti akan banyak orang yang bertanya, kenapa cuma sama mama? (Cuma sama
mami, itu sudah buat aku bersyukur banget, dari pada harus sendirian… :P). Tapi
Tuhan meyakinkan aku untuk ikut walau cuma sama mami. Dan pikirku, Tuhan akan
buat semuanya baik-baik saja tanpa ada orang yang bertanya.

Memang, sampai sebelum aku maju untuk menerima ijasah, tidak
ada yang bertanya. Itu sudah membuatku benar-benar lega. Tapi… ketika sampai di
depan dekanku… penggalan cerita di atas itulah yang terjadi. Rasa malu, kecewa,
sedih, marah, bercampur jadi satu. Tapi marah kepada siapa, sedih untuk apa,
malu dan kecewa dengan siapa, itu pun tak jelas.

Cerita itu tidak berhenti di situ, sampai di kostku… aku
menangis, dan mamiku juga menangis. Dan tanpa sadar, aku memeluk mamiku (selama
22 tahun ini, baru pertama kali ini aku memeluknya, dan sejak aku memutuskan
untuk ikut Yesus, baru pertama kali ini aku duduk dekat dan ngobrol dengan
mamiku). Kemudian mami bilang: Maafin mami, mami bangga sama kamu. Saat itulah
aku bilang: Mam… we (mami, adik & I) can do it together without father…
Father in heaven is with us.

Wow… that’s great!!! Mami yang selama 4 tahun selalu
mengatakan aku anak durhaka, ndak nurut sama orang tua, yang selalu mendamprat
dan mencaci maki aku….hari itu bilang: bangga sama aku dan dia memelukku.
Tadinya, aku berharap dan berdoa ma Tuhan: jangan ada yang bertanya dimana
bapakku. Tapi justru karena ada yang bertanya, aku melihat satu titik terang
dimana Tuhan akan pulihkan hubunganku dengan mamiku. Yeah… Tuhan pasti selalu
beri yang terbaik. Dia ALLAH yang SETIA.

Peristiwa di wisuda fakultas itu, bener-bener jadi satu
ujian kedewasaan buatku dan mungkin buat mamiku. (Mengutip dari Ko hai-hai:
Bisa saja mamiku berbohong dengan berkata bapaknya sakit atau bapaknya sibuk).
Tapi mamiku berkata dengan jujur, bapaknya tidak ada. Dengan tegar mami
nunjukin ke semua orang bahwa she is a single parent. Dan aku pun semakin
membuktikan “HOW GREAT IS OUR GOD”. Sesuatu yang terlihat buruk, Tuhan sanggup ubahkan untuk menjalankan rencana besarNya.

Thanks God…. And thanks God…. Es yang membeku itu mulai
mencair. Kebekuan hubunganku dengan mami terlihat mulai mencair dengan suatu
kejadian yang awalnya aku berfikir, jangan sampai itu terjadi. Thank you Lord.
I know You’re so good in my life.

“GOD is good all the time and all the time GOD is good”

__________________

"I can do all things through Christ who strengthen me"