Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Bertanding menangkap tuyul

Purnomo's picture

Seorang dari mereka memandang Ayah yang duduk bersandar dinding. Di atas kepala Ayah bergantung kalender bergambar harimau. Ia mengatakan Ayah memiliki roh harimau yang sering bermanifestasi dalam bentuk kemarahan. Ayah membantah. Orang marah itu biasa. Mana ada di dunia ini orang yang tidak pernah marah, bantahnya. Mereka tidak peduli. Mereka kemudian berteriak-teriak di depan Ayah dalam upaya menengking keluar roh harimau itu.

– o –
          Penghuni rumah itu adalah kedua orang tua saya, Marta adik perempuan saya dan Wahyu sang keponakan yang kedua orang tuanya mencari nafkah di luar Pulau Jawa. Rumah itu saya miliki lewat fasilitas KPR. Waktu saya kembali ke kota asal, saya memilih tinggal di rumah kontrakan agar mereka tetap bisa tinggal di rumah yang telah mereka akrabi begitu lama.
 
          Setelah beberapa bulan barulah saya mengetahui kenakalan Wahyu yang saat itu sudah di SMA. Marta pernah mengunci pesawat telepon dalam kotak kayu karena tingginya biaya. Tetapi cara itu tak berhasil menurunkannya. Akhirnya dia memblokir dari kantor telepon agar telepon itu hanya bisa menerima tanpa bisa mengirim berita. Dia tahu itu ulah Wahyu. Tetapi itu tidak dikatakannya di depan orang tua kami karena Wahyu adalah cucu kesayangan mereka.
 
          Suatu hari Ayah kehilangan uang lima ratus ribu rupiah yang merupakan pemberian bulanan dari salah seorang anaknya. Kata Marta sebelum saya kembali dari merantau Ayah juga pernah kehilangan uang dalam jumlah yang sama. Tetapi seminggu kemudian dapat ditemukan. Terselip dalam tumpukan celana di lemari pakaian, kata Ibu. Saya pikir ini tidak mungkin karena sejak dulu saya tahu Ibu sangat berhati-hati dalam menyimpan uang. Karena itu diam-diam saya melakukan penyelidikan dengan menemui teman-teman akrab orang tua saya.
 
          Seorang temannya akhirnya mengakui Ibu meminjam uang darinya sebanyak 500 ribu pada bulan dia kehilangan uang itu agar tuduhan adik-adik saya terhadap Wahyu berhenti. Saya mengganti uang itu dan berpesan agar beliau tidak menceritakan kepada orang tua saya. Dengan demikian mereka risih untuk meminjam lagi karena menyangka pinjaman sebelumnya belum dibayar. Kehilangan uang sebanyak itu tidak akan membuat mereka harus berpuasa karena selama ini Marta memberi uang belanja harian. Uang bulanan dari anaknya ini untuk jajan atau membeli sesuatu di luar kebutuhan rutin. Biasanya Ibu membagi-bagi uang itu kepada anak-anaknya yang dinilainya masih dalam keadaan “belum sejahtera” atau pandai membelai hatinya.
 
          Suatu hari saya menemui kedua orang tua saya dan mengungkapkan kecurigaan saya terhadap Wahyu. Benar juga kata Marta, mereka membela Wahyu.
          “Jangan sembarang menuduh. Mana ada anak yang setiap Minggu rajin ke gereja mencuri uang kakeknya. Sekarang ia juga ikut paduan suara remaja gereja.”
          “Lalu siapa lagi yang mencuri kalau bukan Wahyu? Kamar Papa Mama tidak pernah dikunci seperti kamar Marta.”
          “Yang mencuri tuyul. Waktu tengah malam Papa pernah melihat tuyul berjalan melintas depan rumah,” kata Ibu.
          Menurut cerita orang, tuyul adalah setan yang bertubuh seperti anak kecil, kepalanya gundul dan pekerjaannya mencuri uang untuk majikannya.
          “Kalau memang tuyul, mengapa uang Marta tidak pernah hilang? Tuyul ‘kan bisa masuk kamarnya biarpun dikunci?”
          “Karena Papa Mama hanya pergi ibadah Minggu saja, sedangkan Marta lain. Dia jadi guru Sekolah Minggu, ikut koor, ikut tim penginjilan, perpuluhannya besar, sering mobilnya dipinjamkan buat keperluan gereja sampai berhari-hari. Tuyul takut kepadanya.”
          Saya memilih mengalah daripada nanti tensi Ayah naik dan saya repot mengangkutnya masuk UGD.
 
          Seminggu kemudian Marta menelepon mengabari mau memanggil pendeta dan timnya yang punya karunia menangkap setan.
          “Menurutmu bagaimana?” tanyanya.
          “Suka-sukamulah,” kata saya.
          “Ini rumahmu. Jadi kalau kamu tidak setuju aku juga tidak akan memanggilnya.”
          “Kalau Papa Mama maunya begitu turuti saja.”
          “Kamu datang ya.”
          “Tak usah daripada nanti aku menengking pendetamu. Aku percaya tuyul itu ada, tetapi aku yakin tuyul yang masuk ke rumahku itu bernama Wahyu.”
 
          Adik saya yang bernama Lusi buka warung makan di tengah kota dekat perkantoran. Saya sering makan siang di situ. Dia satu-satunya adik saya yang belum percaya Tuhan Yesus. Dia ke gereja kalau dijemput paksa atau ada seleb atau penyayi tenar di gereja. Suatu hari ketika saya mampir makan siang di warungnya dia bercerita sudah menelepon Ibu untuk mendapat liputan upacara penangkapan tuyul itu.
 
          Menurut ceritanya, tim itu datang sekitar pukul 7 malam. Mereka menyanyi, membaca Alkitab dan berdoa. Seorang dari mereka memandang Ayah yang duduk bersandar dinding. Di atas kepala Ayah bergantung kalender bergambar harimau. Ia mengatakan Ayah memiliki roh harimau yang sering bermanifestasi dalam bentuk kemarahan. Ayah membantah kalau ia mempunyai roh binatang. Orang marah itu biasa. Mana ada di dunia ini orang yang tidak pernah marah, bantah Ayah. Tetapi mereka tidak peduli. Mereka kemudian berteriak-teriak di depan Ayah dalam upaya menengking keluar roh harimau itu.
 
          Lalu pandangan mereka tertarik kepada sebuah bingkai kaca yang tergantung di dinding sudut. Dalam bingkai itu ada gambar Hanoman yang dibentuk dari benang warna-warni yang ditautkan ke puluhan paku kecil. Itu cidera mata yang diberikan kepada saya dari seorang teman di Bandung yang menjual lukisan yang dibentuk dari benang dan paku. Mereka berkata mata Hanoman merah menyala. Di situlah bersembunyi tuyul yang mencuri uang di rumah ini. Lalu mereka berteriak-teriak sambil menuding-nuding mata Hanoman. Mendadak seorang dari mereka berlari keluar rumah. Katanya, tuyul itu lari keluar. Ia menyeberang jalan dan berhenti di depan sebuah rumah karena tuyul itu masuk ke rumah itu. Upacara selesai.
 
          “Orang itu masuk ke rumah tetangga Papa?” tanya saya.
          “Tidak.”
          “Tetangga itu keluar rumah tidak?”
          “Mereka sedang pergi.”
         “Untung sekali. Kalau tidak aku harus ke sana untuk minta maaf dan mengharap mereka tidak merasa jadi tersangka pemelihara tuyul.”
 
          Tetangga itu pekerjaannya berjualan sayur keliling. Ketika mereka pindah ke situ, rumah itu hanya sebuah gubuk kecil yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu. Mereka berkeliling perumahan dengan becak. Setelah beberapa tahun mereka bisa membeli sepeda motor. Sewaktu kejadian itu, mereka telah memiliki mobil pick-up terbuka walau bekas dan rumah mereka sudah setengah batu. Saya mengenal mereka dengan baik sehingga yakin betul keberhasilan mereka bukan karena memelihara tuyul tetapi karena mereka ketat dalam pengeluaran uang sehingga bisa menabung.
 
          Seminggu kemudian saya mampir ke warung Lusi. Dia duduk di depan saya sambil tertawa-tawa.
          “Kamu kok cengengesan. Ada apa?” tanya saya.  
          “Tuyul di rumah Papa sudah tertangkap. Kamu tahu siapa yang menangkapnya? Aku!”
          “Kamu bisa?”
          “Beberapa hari yang lalu Wahyu ke mari. Ia aku bawa masuk ke dalam rumah. Aku bilang ia yang mencuri uang kakeknya. Ia membantah, bahkan bersumpah-sumpah. Aku bilang kamu orang Kristen tidak boleh bersumpah. Lagipula aku tidak perlu sumpahnya. Aku kenal beberapa kiai yang bisa membuktikan seseorang berkata jujur atau tidak lewat upacara sumpah pocong. Walau mereka mau menolong, aku tidak mau karena bisa jadi cerita di koran orang Cina masuk masjid. Lebih baik aku bawa kamu ke kelenteng yang pendetanya aku kenal baik. Setelah sembahyang, pendeta akan membakar kertas jimat dan abunya dimasukkan ke dalam air di gelas. Kamu harus minum air itu. Kalau kamu bohong, sebelum tiga hari perutmu akan kembung karena ususmu membusuk. Tidak ada dokter yang bisa mengobatimu walau ususmu dioperasi. Kamu tidak akan bisa duduk karena sakitnya bukan main. Kalau kamu jujur, tidak akan terjadi apa-apa.”
          “Lalu Wahyu mengaku?”
          “Anak itu memang bandel. Ia diam saja. Lalu aku ambil kunci mobil aku gandeng tangannya dan menyeretnya keluar rumah. Kita berangkat sekarang, kataku. Waktu mau masuk mobil baru Wahyu mengaku. Langsung aku interogasi habis-habisan sampai ia juga mengakui yang sebelum-sebelumnya. Aku suruh ia pulang dan mengakui semuanya kepada kakek dan neneknya.”
          “Kasihan Papa Mama. Pasti mereka kecewa sekali.”
          “Habis mau apa lagi? Biar mereka tahu cucu kesayangannya seperti itu kelakuannya.”
          “Kamu sudah menelepon Papa Mama.”
          “Sudah.”
          “Kamu bilang apa?”
          “Aku bilang kalau nanti ada tuyul lagi, atau tetangganya dirugikan tuyul, tidak usah panggil pendeta Kristen. Sudah bayar mahal tidak ada hasilnya. Panggil aku saja. Gratis tapi ampuh,” katanya nyaring disusul tawa berkepanjangan tanpa peduli warungnya sedang ramai pengunjung. Beberapa orang yang sedang makan di situ menoleh ke arah kami dan ada yang nyengir. Pasti ada orang Kristen di antaranya.
– o –
          Saya percaya adanya hal-hal mistis di sekitar saya. Tetapi saya tidak dengan gampang memercayai kisah-kisah mistis atau yang supranatural yang dikisahkan oleh orang lain. Karena itu walau mengalami beberapa kali manifestasi mahluk gaib, saya juga tidak mau menceritakan kepada orang lain. Pasti lebih banyak orang yang akan menuduh saya berbohong. Apabila saya terpaksa menceritakannya, selalu saja saya akan mengakhirinya dengan mengatakan bahwa kita sebagai orang Kristen mempunyai kuasa yang lebih besar daripada mahluk gaib itu seperti yang Yesus katakan dan tercatat dalam Lukas 10:18-20.
 
          Lalu kata Yesus kepada mereka: "Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. Sesungguhnya Aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh, sehingga tidak ada yang akan membahayakan kamu. Namun demikian janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga."
 
          Yesus tak pernah berbohong. Apa yang dikatakan-Nya telah dibuktikan oleh banyak orang yang bukan pendeta dengan mengusir sendiri mahluk-mahluk gaib yang mengganggunya alih-alih lari ketakutan. Bahkan karena tergesa-gesa mereka lupa bilang “dalam nama Tuhan Yesus” tetapi berhasil juga. Mungkin seperti kata ayah saya waktu belum menjadi Kristen bahwa manusia punya harkat lebih tinggi daripada setan.
 
          Berdasarkan Firman ini pula saya berusaha untuk tidak terjebak dalam 2 ekstrim dalam menghadapi alam gaib. Di satu ekstrim saya menafikannya dengan abnormal psychology atau penipuan. Di ekstrim yang lain segala sesuatu yang aneh selalu saja dikaitkan dengan mistik sehingga rokokpun punya roh dan perlu ditengking-tengking.
 
          Jadi? Selamat menengking! Menengking apa atau siapa, Anda sendiri yang menentukan.
 
(end of session)
* semua nama telah disamarkan.
 
Kisah-kisah mistis.
bag 6: Bertanding menangkap tuyul.