Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Menanggung Kekhilafan Sesama

Purnomo's picture

          Menjelang tengah hari hapeku berdering. Walau nomor tak dikenal, aku terima.
          “Pak, apa tadi pagi Bpk yang membeli obat untuk anak Olin di apotik ABC?” tanya suara dari seberang.
          “Betul. Ada apa? Obatnya keliru?” tanya saya waswas.
          “Tidak, Pak. Maaf ya, tadi Bpk belum membayar.”
          “Masa iya? Sebentar, saya tanya istri dulu.”


          Tadi pagi di apotik itu setelah harga resep dihitung aku mengeluarkan uang tetapi kasir berkata, “Bayarnya nanti saja waktu terima obat.” Kemudian aku menunggu di halaman apotik sementara istriku duduk di dalam. Dia yang menerima obat itu.

          “Tadi pagi waktu menerima obat kamu membayar tidak?” tanyaku.
          “Kenapa?” tanyanya balik.
          “Ini apotik menelepon bilang kamu belum bayar.”
          “Lho, jadi kamu belum bayar? Padahal biasanya ‘kan obat disiapkan setelah apotik menerima pembayaran? Waktu terima obat aku juga menerima kopi resep dan kwitansi pelunasan pembayaran. Karena itu aku mengira sebelumnya kamu sudah membayarnya.”

          Haleluyah! Menurut hukum akutansi aku sudah membayar karena sudah menerima tanda bukti pelunasan. Is it my lucky day, isn’t it? Berkat Tuhan memang sering datang dengan cara yang tak terduga. Sebodoh amat nanti akhir bulan gaji kasir itu dipotong karena kekhilafannya ini. Kerja kok ceroboh.

           Tetapi waktu aku kembali menempelkan hape ke telingaku aku berkata, “Mbak, betul saya belum membayar. Nanti saya ke apotik untuk melunasinya.”
           “Pak, jam 1 siang pergantian kasir. Bisa Bpk datang sebelumnya?”
           “Sejam lagi saya sampai di sana, Mbak.”
           “Terima kasih, Pak.”

           Harusnya aku meminta dia datang ke rumahku. Bukan sesuatu yang menyenangkan bermotor jauh di siang yang terik itu. Tetapi aku rapapa. Bukankah itu juga sebuah pelayanan bagi sesama?


         Di kawasan Puspogiwang Semarang ada sebuah kampung yang di kalangan montir mobil dikenal sebagai “Kampung Setel Pintu”. Dari sebuah bengkel reparasi pintu mobil pada tahun 1979, sekarang sudah berkembang menjadi 16 bengkel dengan spesialisasi yang sama. Para ‘pasien’nya bukan saja mobil lama tetapi juga mobil baru.

         Sebulan yang lalu setelah selesai ibadah Minggu aku terpaksa ke sana. Terpaksa, karena kaca sebuah pintu mobilku anjlok. Sebelumnya memang sudah ada 2 pintu yang bermasalah tetapi aku tunda mereparasinya. Tapi kalau kasusnya kaca pintu tak bisa dinaikkan, ini tak bisa lagi ditunda lagi karena termasuk kasus gawat darurat. Maka aku mengemudikan mobilku ke arah barat kota. Setelah melintasi jembatan Banjirkanal Barat mendekati bundaran Kalibanteng/Bandara aku mengurangi kecepatan mobil karena kampung itu ada di sisi kiri jalan di sebelah rumah makan ayam goreng menjelang bundaran itu.

         Memasuki kampung itu baru aku tahu semua bengkel tutup pada hari Minggu. Hampir sampai di ujung kampung, seorang lelaki di halaman sebuah rumah melambaikan tangan dan berteriak,
         “Mau setel pintu?”
         Haleluyah, masih ada montir yang tidak menghormati hari Sabat.

         Di sini para montir mengenakan biaya jasa perbaikan per pintu 25 – 30 ribu rupiah. Bila ada onderdil yang rusak, mereka tidak mau langsung menggantinya dengan yang baru seperti bengkel-bengkel besar, tetapi berusaha terlebih dahulu untuk memperbaikinya. Bila kerusakannya parah baru mereka menawarkan apakah mau diganti dengan yang baru atau yang seken. Dengan cara kerja seperti ini maka banyak pemilik mobil lebih suka pintunya direparasi di sini. Setelah hampir 2 jam baru dia selesai mengerjakan 3 pintu mobilku. Aku puas dengan hasil pekerjaannya, juga dengan biayanya.

         Sore harinya ketika akan berangkat kondangan aku membuka pintu belakang mobil ini. Di lantai mobil aku melihat 2 buah martil dan sebuah kunci T. Astaga, pasti milik montir itu. Sudahlah, kapan-kapan kalau aku melintas dekat bengkelnya yang jaraknya hampir 15 km dari rumahku, baru aku kembalikan barang-barang ini. Tetapi perasaanku tidak enak. Besok hari Senin dan biasanya di mana-mana bengkel ramai. Pekerjaannya pasti terganggu bila peralatannya tidak lengkap. Kalau dia beli baru setidaknya dia harus mengeluarkan uang sekitar 100 rb. Mau membiarkan dia merasakan akibat kecerobohannya, aku tidak tega. Dia adalah satu-satunya bengkel yang buka tadi pagi sehingga sore ini aku tidak perlu memanggil taksi pergi kondangan. Ya sudahlah aku rapapa harus menambah waktu perjalanan 15 menit untuk mampir dulu ke bengkelnya sebelum menuju ke tempat pesta pernikahan.

         Melayani dalam pagar gereja ternyata lebih mudah dan lebih nyaman daripada melayani di luar pagar gereja. Apalagi bila pelayanan itu berupa kegiatan menanggung kekhilafan orang lain. Anda pernah mengalaminya? Bila belum, cobalah pengalaman baru itu, hitung-hitung revolusi mental pelayanan.           

                                                                           (21-10-2014)

*** gambar diambil dari google sekedar ilustrasi.