Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Perginya Lelaki Tua

ely's picture

 

“Ia menyusul”. Dua kata yang begitu saja terbersit di kepalaku. Lelaki tua itu pergi setelah dua minggu lalu seseorang juga pergi. Hanya cara mereka pergi yang berbeda. Isak tangis pilu terdengar lagi. 

Baru tadi pagi aku melihat lelaki tua itu. Waktu berjalan melewati teras belakang rumah mungilnya. Hidup seorang diri, mungkin berat. Masak sendiri, makan sendiri, mencuci sendiri, keadaan yang mengingatkanku pada sebuah lagu dangdut yang aku tidak pernah tahu judulnya.

Hari hampir siang, aku sedang membaca sebuah artikel untuk mengisi waktu luang sambil menunggu orang-orang rumah menyelesaikan pekerjaan mereka, setelah itu rencananya kami akan ke kebun. Ketika adikku baru saja mau mandi, ia berteriak dengan nada panik membuat kami semua yang ada di dalam rumah terkejut. “Ma, ada yang menangis, ada yang menangis”.  Adikku tidak akan sepanik itu jika yang ia dengar hanya suara tangis anak kecil. Ia dan mama bergegas menuju teras depan rumah, untuk mengetahui apa yang terjadi.

“Suara itu dari hulu” kata mama ketika yakin sumber suara yang didengarnya berasal dari arah hulu rumah kami.

Aku tetap diam, tidak bergeser dari tempat dudukku. Aku juga mendengar samar-samar suara tangis yang dimaksud. Suara tangis pilu orang dewasa.

Aku mencoba mengingat, apa ada yang sakit keras di kampung. Baru dua minggu lebih aku berada di kampung. Usai memutar kembali memori di otakku, aku berhasil mengingat seorang nenek tua yang kabarnya sedang sakit keras.

Beberapa hari lalu ketika baru pulang dari kota, sebuah mobil yang membawa sebuah keluarga berpasan dengan mobil yang ku tumpangi. Aku mengenal keluarga itu. Jarang ada mobil penumpang yang berangkat ke kota bila hari sudah sore. Supir mobil yang aku tumpangi menepikan mobil kemudian menghentikan mobil sejenak. Sesaat kami saling menyapa. Dapatku lihat wajah-wajah panik bercampur sedih di dalam mobil itu. Mereka ke kota karena mendapat pesan orang tua mereka sakitnya tambah parah.

“Mungkin saja si nenek yang di hilir”, kataku langsung mengatakan apa yang terlintas di kepalaku. Mama tidak setuju. Ia menyahut “Tapi, suara tangisan itu dari hulu”. Untuk memastikan, aku akhirnya keluar rumah. Tidak begitu jauh di hulu rumah kami, beberapa orang sudah terlihat berkumpul di sebuah rumah mungil milik seorang lelaki tua. 

Dari jauh berlari dari arah hulu seorang lelaki muda. Ketika tiba di depan rumah kami, ia berhenti sejenak untuk menyampaikan berita “dia pergi waktu sedang tidur” katanya tergesa. Aku segera menangkap bahwa itu berita duka. Siapa yang dimaksudnya dengan ‘dia’, aku belum tahu. Untuk megmastikan, aku bertanya “Bapak tua di rumah kecil itu?”, “iya, dia sudah tidak ada” jawabnya, kemudian kembali berlari kecil ke Hilir kampung. Ia mungkin ingin menyampaikan berita kepada keluarga bapak tua itu.

Tidak sulit menyebarkan berita duka kepada orang-orang di kampung. Tradisi lama masih berlaku. Hanya dengan memukul beberapa kali sebuah gong besar dengan irama tertentu semua orang di kampung sudah tahu ada yang meninggal. Suara gong akan menggema ke seluruh penjuru kampung, bahkan kadang angin membawa suara gong hingga ke ladang-ladang yang letaknya jauh dari kampung. Itulah alasannya sewaktu kecil kami dilarang bermain-main dengan gong besar itu.

________

 

Belum ada niat untuk segera mengunjungi rumah mungil itu. Masih enggan mendengar  isak tangis pilu. Ku putuskan untuk menunggu saja. Menunggu sambil melihat orang-orang lalu lalang di jalan dengan ekspresi panik, sudah cukup menegangkan.

Tidak beberapa lama kemudian seseorang kembali ke rumah membawa cerita yang ku tunggu. “Ia meninggal seperti orang tidur. Ia tidur miring dan selimut masih menutupi sebagian tubuhnya”. Aku kembali ingat sosok lelaki tua itu tadi pagi. Tidak menyapaku dengan senyumnya seperti biasa, aku pun tidak. Aku begitu tergesa. Jika aku tahu itu pertemuan terakhir mungkin tidak hanya senyum yang akan ku berikan. Aku akan duduk bersamanya, mendengar ceritanya untuk menemaninya menunggu detik-detik terakhir itu.

 

______

 

Lelaki tua tanpa anak dan istri itu, meninggalkan saudara-saudaranya semuanya sudah memiliki cucu. Mungkin juga beberapa peninggalan lainnya.

Aku mengenalnya sebagai orang yang senang memancing. Beberapa tahun lalu, waktu masih memiliki tenaga untuk bekerja, hampir setiap hari ia menjual ikan hasil tangkapannya kepada orang-orang di kampung. Dia termasuk beruntung karena ada saja beberapa ekor ikan patin gemuk yang ia tangkap.

Tidak hanya pandai menangkap ikan, ia juga  pandai membuat alat-alat penangkap ikan, semacam jala, pukat dan bubu. Ia akan membuat lebih, jika ada yang memesan.

Waktu kecil, aku sempat punya kenangan tentangnya. Aku dan teman-temanku sering menghabiskan waktu bermain di sekitar halaman rumahnya. Ia sering memberi kami buah-buah dari pohon miliknya. Sepertinya ia menyukai anak-anak.

Ia lelaki tua itu, menurutku kisah tentang kehidupannya cukup menarik sehingga aku sempat menulisnya.

_______

 

Gong besar itu sudah berbunyi. Tandanya lelaki tua itu benar-benar sudah meninggal. Kata mama, seorang perawat sudah memastikan detak jantungnya telah berhenti.

Setiap kali mendengar bunyi gong besar berbunyi jantungku berdetak lebih cepat. Suara gong bagiku berarti ada jenazah juga ada para pelayat yang menangis pilu. Aku tak menyukainya.

Sambil menunggu keluarga yang tinggal di luar kampung untuk pemakaman, proses pemakaman dipersiapkan. 

Sudah banyak orang berkumpul di sekitar rumah mungil itu. Tidak banyak orang bisa duduk di dalam rumah yang hanya memuat sekitar dua puluh orang itu. Rumah tanpa skat itu hanya dapat menampung keluarga terdekat yang terlihat duduk berdesakan di sekitar jenazah yang sudah terbujur kaku di tutupi sehelai kain batik. Sebuah tenda didirikan di samping rumah. Tempat orang-orang yang datang melayat.

Belum semua orang bisa datang, masih banyak yang belum tahu. Pagi-pagi sebelum kejadian orang-orang sudah berangkat ke ladang. Mereka tidak sempat tahu. Untuk menyampaikan berita pada orang-orang di ladang beberapa sukarelawan sudah diutus.

Esok rencananya jenazah dimakam setelah keluarga yang ditunggu berkumpul. Sebelum jenazah dimakamkan, orang-orang dikampung tidak akan ada yang pergi ke ladang atau kebun atau mengerjakan aktivitas lainnya. Cara menghargai orang berduka yang membudaya. 

Sedang duduk ngobrol dengan seseorang, aku menarik nafas lega mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulutnya “Tidak ada yang tahu kapan seseorang dipanggil Tuhan”, beberapa kalimat menyusul menjelaskan sebuah pengakuan tentang kedaulatan Tuhan. Itu cukup untuk sebuah harapan.

 

__________________

Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...