Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tanda kehadiran utusan Allah - 1

Purnomo's picture

Makhluk gaib dari manakah yang iseng melakukan ini? Saat itu saya tidak merasa udara menjadi berat sehingga sulit bernafas. Saya tidak merasakan hembusan angin dingin di tengkuk. Tidak ada bau bunga yang masuk ke lobang hidung. Jika kamar hotel ini dihuni makhluk tak kasatmata, mengapa selama 2 malam dia tidak mengganggu saya? Mengapa baru subuh ini dia memberi tanda akan keberadaannya? Apa karena dia bermaksud baik?
 
                                                            – o –
          Tanda berbuka puasa dari Masjid Agung terdengar sampai ke pelabuhan feri di ujung Jalan Sekanak. Jack bergegas membuka pintu belakang mobil bok untuk mengambil bekal berbuka yang siang tadi kami beli di sebuah warung. Satu kantong diberikan kepada Achmad sopir kami dan satu lagi disodorkan kepada saya. Di bulan Puasa tahun 1992 itu saya berpuasa. Setelah puasa pertama saya di tahun 1987 yang mengapanya telah saya tulis di bawah judul “
Mengetuk pintu sorga” setiap bulan Puasa saya ikut berpuasa. Tidak lagi untuk meminta sesuatu dari Allah, tetapi untuk mensyukuri berkat-berkat yang telah saya terima dari-Nya. Setiap nyeri menoreh lambung, saya mengingat sebuah berkat yang telah saya terima untuk kemudian mensyukurinya dalam doa singkat tanpa suara.
 
          Peluit kapal feri berbunyi. Tali temali yang mengikat kapal dengan dermaga dilepas. Kapal mulai bergerak ke tengah Sungai Musi yang airnya berwarna kecoklatan. Kami duduk di lantai kapal dekat mobil beralaskan koran bekas. Jack makan dengan lahap.
          “Jack, seharusnya sebelum makan kamu sembahyang dulu,” kata saya.
          “Seharusnya saya tidak puasa. Menurut ajaran agama orang yang sedang bepergian boleh tidak puasa,” jawabnya.
          Achmad tertawa. “Jack, dulu orang bepergian jalan kaki di padang pasir. Kalau puasa bisa mati ia di tengah jalan. Makanya Nabi memperbolehkan berhutang puasa. Sekarang lain. Kamu duduk-duduk saja atau tidur di kapal ini, besok subuh sudah sampai di Bangka. Kamu boleh tidak puasa kalau kamu berenang ke Bangka.”
          “Teman-teman aku kalau pergi ke luar kota tidak puasa,” Jack bersikeras.
          “Lalu mengapa kamu berpuasa?” tanya saya. “Puasa kalau terpaksa tak ada pahalanya.”
          “Sungkan saja sama Pak Pur. Masa bosnya yang bukan Muslim puasa, bawahannya yang Muslim tidak puasa,” jawabnya membuat Achmad terkekeh.
 
          Jack yang asli Komering ini memang tidak pernah mau berpikir rumit. Tetapi cara berpikirnya yang lugu itu pernah merepotkan saya seperti yang telah saya kisahkan di artikel berjudul “
Pintar Plus.” Dari semua bawahan saya, Jack yang paling saya senangi karena walau aikiunya pas-pasan minatnya besar dalam mempelajari hal-hal yang baru. Saya mengajaknya ke Pulau Bangka untuk mengajarnya mengukur potensi daerah baru dengan berbekal data statistik terbitan BPS dan peninjauan pasar karena tidak selalu besarnya pendapatan sebuah daerah berbanding lurus dengan ketebalan dompet setiap penduduknya. Saya berencana memperluas daerah kerjanya sampai ke pulau ini bila potensinya bagus.
 
          Ia sudah menyelesaikan makannya ketika kami melintas di bawah Jembatan Ampera yang sudah tak bisa lagi dinaik-turunkan. Orang-orang yang berdiri di pagar jembatan menunggu saat berbuka sudah tak ada. Kendaraan yang melintasinya juga tak seramai siang tadi. Di sepanjang tepi sungai berderet bagian belakang rumah-rumah yang menjorok ke atas sungai yang biasanya dipergunakan untuk mandi, mencuci dan menjemur pakaian. Sering terjadi anak-anak yang bermain di situ jatuh ke dalam sungai dan hilang terseret arus kuat yang ada di bawah permukaan air.
          Tak berapa lama kilang-kilang minyak Sungai Gerong dan Plaju muncul di sisi kanan kapal. Ratusan lampu yang ada di komplek itu telah menyala. Pemandangan yang kontras dengan Pulau Kemarau di sisi kiri kapal yang gelap walau di situ ada sebuah kelenteng yang ramai dikunjungi orang pada hari-hari besar Tionghoa. Lepas dari daerah ini tidak ada lagi pemandangan yang bisa dinikmati sehingga saya memilih masuk ke kabin kapal mencari tempat duduk untuk tidur.
 
          Sekitar pukul 9 pagi kami tiba di pelabuhan Muntok yang terletak di tepi barat Pulau Bangka. Pada jaman dulu nama Muntok lebih dikenal daripada Bangka karena dari tempat inilah dikirim keluar pulau timah putih dan lada putih. Orang menyebutnya timah putih Muntok dan lada putih Muntok. Sebagian besar rumah-rumah di pusat kota kecil ini berarsitektur Tiongkok seperti yang terlihat dalam filem-filem silat Mandarin. Kami hanya mencuci muka dan sikat gigi dengan air mineral botolan sebelum meneruskan perjalanan menuju Pangkalpinang kota terbesar di Bangka yang terletak di sisi timur pulau.
 
          Dibutuhkan waktu 2 hari untuk melihat semua kota di pulau ini yang kami duga berpotensi menyerap produk kami. Bertiga kami mengemudikan mobil bergantian untuk menghemat waktu istirahat. Dua malam kami menginap di hotel di Pangkalpinang yang berlantai dua. Saya dan Jack di lantai dua di kamar berbeda sedangkan sopir tidur di kamar lantai satu. Hari terakhir kami harus berangkat ke Muntok dini hari agar mendapat tempat bagi mobil bok kami di kapal feri.
 
          Hari masih gelap ketika pintu kamar diketuk. Pelayan hotel mengantar sepiring nasi goreng dan segelas teh manis. Ia meletakkannya di atas meja kecil. Untuk saur hanya ada 2 pilihan, nasi goreng atau roti. Saya sudah selesai mandi dan semua pakaian telah masuk kopor. Setelah mengenakan sepatu, saya mengambil kantong plastik dari kopor yang berisi sikat gigi, pasta, sisir dan krim rambut. Botol plastik pipih krim rambut tidak ada di situ. Saya mencari di kamar mandi, di meja toilet, di kolong tempat tidur dan di meja kecil tempat nasi goreng diletakkan. Kuatir botol pipih itu tertindih piring, saya mengangkat piring itu. Tidak ada. Saya membongkar kembali kopor pakaian. Tidak ada. Ya sudah, saya menyisir rambut tanpa krim.
 
          Bergegas saya duduk di depan meja kecil untuk menyantap nasi goreng. Tangan saya yang sudah memegang tepi piring untuk menariknya mendekat seakan lumpuh ketika mata saya terpaku sesuatu di dekatnya. Botol plastik pipih krim rambut itu tegak di samping piring! Bagaimana bisa? Meja itu hanya seluas 50 x 80 cm sehingga tak mungkin bila botol itu ada sedari tadi luput dari mata saya. Saya yakin ketika meletakkan kembali piring itu di meja, saya tidak melihat botol itu.
 
          Makhluk gaib dari manakah yang iseng melakukan ini? Saat itu saya tidak merasa udara menjadi berat sehingga sulit bernafas. Saya tidak merasakan hembusan angin dingin di tengkuk. Tidak ada bau bunga yang masuk ke lobang hidung. Jika kamar hotel ini dihuni makhluk tak kasatmata, mengapa selama 2 malam dia tidak mengganggu saya? Mengapa baru subuh ini dia memberi tanda akan keberadaannya? Apa karena dia bermaksud baik?
 
          Saya tak berani memejamkan mata ketika menaikkan doa makan dan mohon penyertaan Tuhan dalam perjalanan pulang ke Palembang. Mata saya terus menatap botol plastik pipih itu kuatir botol itu melayang sendiri ke udara. Selesai berdoa dengan gerakan cepat saya menyambar botol itu, melemparkannya masuk ke dalam kopor dan menutup kopor itu. Cepat-cepat saya makan dan kemudian keluar kamar menuju front office membereskan sewa kamar.
 
          Saya minta Achmad mengemudikan mobil menuju Muntok.
          “Jack, kamu tahu tidak hotel kita ada isinya?” saya bertanya.
          “Ada, Pak,” cepat sekali jawabnya.
          “Bagaimana kamu tahu?”
          “Tadi malam sekitar jam sembilan aku keluar makan.”
          “Kamu makan malam lagi?”
         “Ya Pak, sambil jalan-jalan lihat kota. Waktu aku naik tangga aku lihat di anak tangga paling atas ada sepasang kaki mulus sedang melangkah naik. Tidak pakai sandal atau sepatu. Cepat-cepat aku naik. Tapi waktu aku sudah sampai di lantai dua, dia sudah hilang. Karena lantai lorong dilapisi karpet aku tidak tahu dia masuk kamar yang mana. Aku tidak berani mengetuk setiap pintu kuatir salah kamar.”
          “Kamu ini keterlaluan,” sela Achmad, “bulan Puasa masih cari cewek.”
          “Kalau untuk teman ngobrol ‘kan tidak dosa?”
          Jack salah mengartikan kata “isi” yang saya ucapkan. Agaknya ia ingat akan orang yang berkeliling kota dengan becak di pedalaman Sumatera Selatan dengan tugas meneriakkan judul filem yang akan diputar di bioskop. Biasanya penyebar berita ini akan mengatakan “ada isi, ada isi” bila filem itu berisi banyak adegan seks.
          “Lalu kamu tidur?” saya bertanya.
          “Aku turun lagi ke bawah tanya sama front office kamar di lantai dua yang ada tamunya nomor berapa saja?”
          “Nekad,” Achmad menggerutu.
         “Kata front office cuma 2 kamar saja, kamar aku sama kamar Pak Pur. Lalu aku tanya, tadi perempuan yang baru saja naik tangga siapa. Orang front office bilang tidak ada perempuan yang naik ke lantai dua.”
 
          Rasanya bulu lengan saya meremang. Menjelang pukul setengah sebelas malam saya belum tidur. Saya sedang sibuk dengan angka-angka di atas kertas untuk menghitung perkiraan keuntungan bila Jack harus mengunjungi Bangka sebulan sekali. Tivi saya matikan agar bisa konsentrasi. Saya hanya mendengar satu kali suara pintu kamar tetangga ditutup. Saya yakin seyakin-yakinnya tidak ada suara lain sebelum Jack menutup pintu kamarnya. Bila perempuan itu masuk ke kamarnya dengan tergesa-gesa, pasti suara benturan pintu kamarnya terdengar lebih keras. Orang front office tidak bohong karena meja mereka ada di samping tangga ke lantai dua. Meja mereka ada di situ tentunya agar lebih mudah mengawasi orang yang naik turun.
 
          “Aku rasa orang front office bohong,” Jack meneruskan ceritanya. “Tapi aku tak mau ribut karena aku yakin perempuan itu simpanan bos hotel itu.”
          “Mengapa kamu berpikir begitu?” tanya Achmad.
          “Kalau lihat betisnya mulus nian, pasti orangnya cantik. Itu hai klas. Cuma bos besar saja yang bisa buking,” Jack menjelaskan.
          Saya tidak lagi mendengar ceritanya karena sibuk memikirkan apakah yang dilihat Jack ada sangkut pautnya dengan peristiwa di kamar saya subuh tadi.
 
          Sampai di Muntok kami langsung ke kantor penjualan tiket penyeberangan. Masih ada tempat kosong di jet foil yang dikhususkan untuk penumpang saja. Kapal motor cepat dengan kapasitas sekitar 60 penumpang ini akan berangkat setengah jam lagi.
          “Jack, ada yang harus aku kerjakan di Palembang hari ini. Jadi biar aku naik jet foil saja. Feri berangkat jam 3 sore. Kamu punya waktu untuk mengunjungi toko-toko di Muntok sebelum berangkat.”
 
          Tengah hari saya tiba di Pelabuhan Boom Baru Palembang. Sebelum ke kantor saya mampir ke rumah karena kuatir ada sesuatu yang buruk terjadi. Istri dan kedua anak saya sehat-sehat saja. Istri saya memaksa saya makan siang dulu sebelum pergi. Setelah saya selesai makan, dia menyodorkan sepucuk surat.
          “Surat ini aku terima dari Pak Pendeta. Kamu baca pelan-pelan, jangan emosi,” katanya.
          Surat itu berperangko. Tanggal stempel pos bertepatan dengan tanggal keberangkatan saya ke Bangka. Pada sampulnya tertulis “Kepada Yth Pastor Gereja AAA” padahal gereja kami bukan gereja Katolik. Di belakang sampul tertulis nama si pengirim dan alamatnya di daerah Kenten “Jalan Anu Gang sekian Nomor sekian.”
         Surat yang ditulis dengan mesin tik itu ditujukan kepada pendeta kami untuk memperingatkannya Purnomo itu serigala berbulu domba. Ada 3 alasannya. Pertama, saya telah mengorup uang perjalanan dinas. Kedua, saya telah menyelewengkan uang perusahaan. Ketiga, saya berselingkuh dengan Lisa karyawan distributor perusahaan. Bila dalam seminggu saya belum membereskan 3 hal ini, maka nyawa saya bisa melayang.
 
          Saya memasukkan surat itu ke dalam tas kerja. “Salah satu alasan perusahaan memindahkan aku dari Jakarta ke Palembang adalah untuk mengurus hutang distributor di sini. Dua minggu yang lalu Oom Tan pemilik distributor ini yang sudah tua dan sakit-sakitan memberi aku dokumen 3 rumahnya sehingga jumlah jaminan terhadap hutangnya telah tertutup. Dua bulan lagi akan dilakukan pemutusan hubungan kerjasama dengan perusahaan. Setelah itu aku harus menjual 3 rumahnya dan ini berarti Oom Tan dan anak-anaknya yang mendiami 2 rumah lainnya harus pindah ke rumah kontrakan. Aku kira surat ancaman sekaligus surat kaleng ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang aku tangani.”
 
          “Apa kamu tidak perlu lapor polisi?”
          “Yang aku laporkan siapa? Nama dan alamat pengirimnya pasti palsu.”
          “Lantas, apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya dengan kuatir.
          “Aku mau menyimpan surat ini di brankas kantor setelah aku fax ke kantor pusat. Satu fotokopi mau aku berikan kepada anak Oom Tan yang mengurus bisnis ayahnya. Lalu aku mau ke Kenten untuk melihat apakah alamat ini ada.”
          “Kamu tidak takut?”
         “Aku takut. Takut sekali. Tetapi mau apa lagi? Memangnya ada pilihan lain selain menghadapi ancaman gelap ini?” Saya menghela nafas. “Waktu menyerahkan surat ini, apa kata Pak Pendeta?”
          “Ia tidak bicara apa-apa.”
          “Apakah ia mengajakmu berdoa.”
          “Tidak,” jawabnya. Ada nada getir dalam suaranya.
        “Tak mengapa. Kita tidak sendirian. Subuh tadi di Pangkalpinang Tuhan sudah memberitahu seorang malaikat telah dikirim-Nya untuk mendampingi aku. Ceritanya nanti sore saja. Sekarang aku harus segera ke kantor.”
          Aku melangkah keluar rumah. Masih sempat aku mendengar suaranya,
          “Hati-hati.”

                                                           (bersambung)

* semua nama telah disamarkan.

Kisah-kisah mistis.

bag 1: Jangan pipis dekat kuburan.
bag 2: Mama, hantu itu apa ada?
bag 3: Belajar ilmu gaib jangan tanggung.
bag 4: Menghadapi guna-guna.
bag 5: Menantang pibu Roh Yesus.
bag 6: Bertanding menangkap tuyul.
bag 7: Tanda kehadiran utusan Allah - 1.

bag 8: Tanda kehadiran utusan Allah - 2.