Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

OMONG-OMONG SOAL SUSU

Purnomo's picture

                Sabtu 12 September 2015 walau tak punya jabatan gerejawi aku ikut dibawa rombongan penatua gerejaku ke Salatiga yang mengunjungi 2 panti wreda. Untuk jadi wartawan, kata mereka. Setelah menyelesaikan perkunjungan itu rombongan mampir di peternakan sapi Salib Putih karena beberapa orang ingin membeli susu.
               “Mengapa tidak beli di Semarang saja?” tanyaku.
               “Karena susu di Salatiga lebih putih dan lebih kental daripada yang di Semarang,” begitulah jawaban seseorang.



               “Kok bisa begitu?”
               “Karena udara Salatiga lebih dingin daripada Semarang.”

                Ini yang diomongi susu yang masih nempel di badan apa air susunya? Aku tak mengerti tetapi tak berani minta klarifikasi karena takut ketahuan 'telat mikir'. Kalau cairannya di mana saja pasti sama putihnya, kecuali sudah dicampuri bubuk oreo.

                Alasan yang bisa aku mengerti adalah “lebih kental”. Setelah melihat sendiri memang betul, tetapi harganya 7500 rupiah seliter, sedangkan di KUD dekat rumahku 5000 rupiah. Apa ini berarti lebih mahal? Tidak, karena penjual memberitahu agar nanti sebelum direbus setiap liternya ditambahi air segelas (lk 250 ml) sebab bila perut tidak kuat bisa mencret.

                Sewaktu cucu pertamaku masih batita, untuk memperkuat daya tahan tubuhnya dia diberi susu sapi. Aku membeli susu sapi dari sebuah KUD di Ungaran. Karena jaraknya tidak dekat, aku membeli 5 liter sekaligus untuk beberapa hari. Tetapi sering terjadi susu itu rusak ketika direbus, atau yang aku simpan di kulkas rusak ketika dipanaskan kembali. Setelah itu aku menemukan KUD Sapi di dekat rumahku. Karena tidak jauh jaraknya, aku beli di situ setiap hari 1 liter. Tetapi juga sering rusak ketika aku rebus.

                Setelah bertanya kepada teman-teman yang tahu tentang persusuan sekarang aku tahu bagaimana mengelola susu sapi. Begini.

PEREBUSAN
                Setelah membeli, jangan menunda perebusannya. Lebih dari 6 jam di temperatur ruang, susu itu bisa rusak. Karena itu bila terpaksa menunda perebusan, masukkan susu itu di lemari pendingin.
 
                Rebus susu itu di panci aluminium dengan api normal, tak perlu api kecil. Tetapi, selama di atas kompor, susu itu harus terus diaduk untuk menghindari kemungkinan rusak karena menggumpal. Setelah mendidih, kecilkan api selama ½ menit sebelum diangkat dari kompor.

PENYIMPANAN
              Setelah direbus susu yang belum dikonsumsi jangan diberi gula. Tunggu sampai tidak panas lagi, masukkan susu itu ke botol-botol kecil dan simpan di freezer (ruang pembeku). Keluarkan botol itu lk 3 jam sebelum dikonsumsi dan biarkan mencair di temperatur ruang seperti kalau kita akan memroses daging beku.

              Setelah itu masukkan ke panci dan rebus dengan api kecil. Pengadukan tidak diperlukan karena yang akan kita lakukan adalah menghangatkannya. Karena itu sesaat sebelum susu mendidih (orang Jawa bilang masih ‘kemrengseng’), matikan api. Susu itu siap dikonsumsi. Saya tidak tahu mengapanya, tetapi bila proses ‘penghangatan’ itu berubah menjadi ‘pendidihan’ kadang-kadang susu itu bisa rusak menggumpal.
           
              Dengan proses ini kita bisa menyimpan cadangan susu sapi sampai 2 minggu di freezer. Namun demikian lebih baik tidak menyimpannya lebih dari 7 hari.

              Tentang susu Alkitab mencatat di 1 Korintus, (1) “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. (2) Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya.”

             Jadi, susu hanya layak dikonsumsi oleh mereka yang belum dewasa. Lalu bagaimanakah akibatnya bila mereka yang telah lewat dewasa mengkonsumsinya?

             Suatu kali seorang penatua wanita yang di bidang diakonia bercerita kepadaku dengan wajah cemas. Seorang ‘asuhan’nya di panti wreda baru saja meninggal. Semasa hidupnya setiap penatua ini datang berkunjung, dia selalu dipeluk-peluk dan dicium-cium oleh oma ini. Lalu apa masalahnya? Ternyata oma ini meninggal karena TBC. Karena dia tahu lepas dari organisasi gereja aku pernah mendampingi seorang yang sakit TBC sampai mengantarnya ke rumah sakit paru-paru di Salatiga, dia bertanya apa yang pernah aku lakukan agar tidak tertular penyakit itu. Lalu aku menceritakan nasihat dokter yang aku terima tetapi tidak aku lakukan karena yakin tubuhku cukup sehat untuk tidak tertular penyakit itu.

             Hari Minggu kemudian dia menemui aku di gereja. Kali ini wajahnya tidak cemas, tetapi marah.
            “Menuruti omonganmu, aku beli susu sapi 2 liter untuk 2 hari. Pagi aku minum 1 gelas, siang 1 gelas, sore 1 gelas, dan malamnya aku kena diare berat sampai subuh. Pagi langsung aku ke rumah sakit dan setelah tahu penyebabnya aku dimarahi dokter. Dokter bilang umur di atas 50 tahun tidak boleh minum susu sapi. Kalau tidak kena diare, ya kolesterolnya naik tinggi.”

             Aku ngakak.
             Makanya kalau sudah merasa dewasa atau lebih dari dewasa yang tidak ada hubungannya dengan ‘lebih dari pemenang’, kalau melihat anak minum susu, jangan direbut dan lalu meminumnya. Kalau sudah kena mencret baru bingung sendiri.

** gambar diambil lewat google sekedar ilustrasi.