Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Makhluk Manis di Malam Indah

anakpatirsa's picture

        Aku tidak sedih, hanya kaget. Secepat itu? Tadi dokter memanggilku. Ingin kuprotes. Nenek ini datang bersama anak perempuan, menantu dan cucunya, mengapa aku yang dipanggil? Kuhibur diri, mungkin karena gayaku lebih mirip orang kota berduit. Ia berkata, "Ada infeksi di usus sehingga terdapat cairan asing di perutnya." Melihatku hanya diam, ia melanjutkan, "Saat ini kami hanya bisa mengatakan kondisi ibu ini sangat… sangat lemah."

        Sejam kemudian, aku baru membuka pintu ketika anak angkat adikku menelpon, "Ibuku sudah pergi." Kutelpon adik yang tinggal di kota yang sama. Kusuruh ia menebak siapa yang meninggal. Ia tidak tidak tahu, ia tanya siapa. "Ibunya si Mude," jawabku. Ia tidak sedih, ia katakan caraku tidak etis. Kukatakan, lain kali kalau ada yang mati langsung kukasih tahu saja, tidak pakai acara tebak-tebakan.

        Kemudian kususuri lorong rumah sakit mencari panah bertuliskan "Kamar Jenazah". Tidak mungkin kudatangi perawat untuk bertanya, "Kamar mayat dimana?" Itu ruangan sakral, harus kucari sendiri. Makin lama kutemukan, makin besar peluangku sampai di sana tanpa harus ikut memandikan jenazah. Kutemukan sebuah panah bertuliskan "Pemulasaran Jenazah". Kuikuti panah itu, kurasakan tatapan aneh dari ruang ICCU. Lorong kamar mayat memang selalu memberi sensasi aneh buat penonton dari kejauhan.

        Mayat itu bukan hanya sudah dimandikan, tetapi bahkan sudah dimasukkan kedalam peti mati. Hanya satu yang belum, membayar utang. Kuperhatikan kuitansinya, tujuh ratus ribu untuk jasa dokter dan biaya menginap semalam di bangsal. Aku tahu, mereka tidak bakalan memperlihatkan kuitansi itu bila uangnya masih tersisa.

        Malam itu, di rumah, satu persatu pelayat pulang. Mereka tidak mengenal si mati, mereka datang karena pendetanya datang. Pendeta yang bertanya apakah ada tirai supaya peti mati tidak terlalu mencolok di ruang tamu? Kubeli kain spanduk polos di toko sablon yang harganya membengkak menjadi seratus ribu. Tetangga sebelah tidak memperlihatkan batang hidungnya, padahal hubungan kami dekat. Aku tidak sungkan mengetuk pintunya demi se-sachet kopi, kalau ia terlambat membuka warung.

        Kukira semua orang mau pulang, ternyata ada yang mau bertahan. Itu makhluk manis yang duduk sendirian di samping peti mati. Kutanya apakah ia keluarga si mati? Ia hanya tahu kalau keluarga mereka dekat. Aku percaya. Ia tidak kelihatan risih duduk sambil menatap isi peti itu. Tidak bisa kutahan diri untuk tidak menyatakan kekagumanku melihat keberaniannya melihat orang mati. Makhluk manis itu tersenyum, ia katakan dirinya sudah sering menangani pasien yang meninggal di rumah sakit. Kuampuni rumah sakit yang tetap menguras uangku walaupun pasiennya mati.

        Aku tidak berbasa-basi ketika menawari kamar tidurku untuknya.

        "Kami mau pulang juga," katanya.

        Kuharap ia tahu aku kecewa.

        "Temanku dari tadi sudah mengajak pulang," lanjutnya, "tetapi aku belum ketemu kakak sama anaknya."

        Kujelaskan, keluarga yang mengantar ibu ini tidur di kamar satunya lagi. Tiga hari mereka kurang tidur, itulah sebabnya ibu ini ada di kamar tamu, bukan dalam ambulans yang membawanya melewati jalan rusak. Mereka telah menempuh perjalanan jauh. Naik kapal kecil ke kota kabupaten, dari sana men-charter mobil ke kota ini. Sampai kemarin sore, meninggal sore ini, dan besok sudah harus pulang.

        "Itu bukan perjalanan yang mudah," kataku.

        Aku hanya ingin menahannya lebih lama, tetapi tatapan kecewa itu membuatku menyesal, "Mau kubangunkan?"

        Ia tersenyum. Kali ini sambil menggeleng.

        Makhluk jelek itu mendatanginya, bertanya, "kapan kita pulang?" Makhluk manis itu sudah pamitan ketika Mude tiba-tiba muncul, "Jangan pulang, kamu di sini ja," katanya. Ia mau saja tinggal, tetapi teman laki-lakinya membuat seribu satu alasan. "Bagaimana kalau kami yang mengantar kamu besok pagi?" kataku. Kujual nama adiknya adik iparku, sebelum anak itu protes, kuinjak kakinya.

        Malam itu, di kananku mayat, di kiriku makhluk manis yang bernafas begitu teratur dalam tidurnya. Aku tidak perlu berbesar hati kalau ia memilih tidur di dekatku daripada berbaring sendirian di kamar. Ia tetaplah seorang wanita, makhluk yang takut sama hantu.

        Tadi ia berbaring di samping peti mati. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyatakan kekagumanku karena ia bisa tidur di sebelah orang mati. Ia katakan, dari tadi berusaha memejamkan mata, tetapi tidak mampu. Pantas kulihat setiap kali memejamkan mata, sepasang bola mata indah itu kembali menatap langit-langit. Kutanya, mengapa tidak berbaring dekat dinding saja dan aku yang duduk di samping mayat. "Itu yang kupikirkan dari tadi," jawabnya. Kubantu ia memindahkan sofa lipat ke dekat dinding. Tidak sampai tiga menit, tarikan nafasnya mulai teratur.

        Adikku yang masih dalam perjalanan menelpon ketika ayam berkokok. Ia minta dua ratus ribu diberikan kepada seseorang untuk membeli makanan. Orang-orang yang akan berangkat, termasuk dirinya perlu mengisi perut. "Nanti kuganti uangnya," katanya. Aku cukup mengenalnya, uangku tidak bakalan kembali.

        Makhluk manis itu terbangun jam lima. Ia melirik ke arah peti mati, melihat ponselnya lalu duduk. Ia beri aku sebuah senyum begitu kepalanya menyandar dinding, senyum seseorang yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka. Senyum itu menghapus uang yang sejuta dari kepalaku. "Tadi nggak ada tidur, ya?" katanya. Tadi, tiga kali ia terbangun, tiga kali pula ia langsung memejamkan mata begitu melihatku masih duduk di sampingnya. Sekali ia kutawari minum, ia menggeleng lemah tanpa membuka mata.

        "Nggak apa-apa," jawabku, "soalnya sambil main komputer juga."

        Ia kembali duduk di sofa lipat setelah mencuci muka, dan berbicara dengan anak perempuan ibu yang meninggal. Tanpa mengatakan apa-apa, ia ambil gelas Aqua dari sampingku. Sepertinya ia tahu itu air minum yang kutawari tadi malam.

        "Kalau nanti mau pulang, bilang saja, ya," kataku.

        "Nanti aku dijemput teman, ja," jawabnya.

        Kuharap ia tahu aku kecewa.

        "Nanti masuk jam berapa?" tanyaku.

        "Jam tujuh, aku masuk shift pagi," jawabnya.

        Aku tidak bisa menahannya, aku hanya bisa segera mandi. Aku tidak ingin melepasnya dengan muka kusut dan mata merah. Hatiku senang ternyata bukan makhluk sombong jelek itu yang menjemputnya, tetapi makhluk yang tidak kalah manisnya.

        Aku sudah tidur ketika adikku sampai di rumah, terbangun karena suara ribut. Aku kembali ke ruang tamu, kulihat sekelompok manusia berdiri mengelilingi peti mati. Di halaman depan, sudah ada ambulans dengan pintu belakang terbuka.

        Mereka mengangkat peti itu. Aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Makhluk manis itu, mungkin aku juga tidak akan pernah melihatnya lagi (kecuali kalau kumasukkan ibu ke rumah sakit). Ia mungkin melupakan malam itu. Makhluk manis itu, ia tidak akan pernah tahu, malam itu aku tidak tidur karena dirinya. Malam itu, aku tidak tidur bukan karena menunggui mayat, tetapi menungguinya. Malam itu, aku ingin memberinya rasa aman. Rasa aman saat dirinya terbangun tengah malam di samping orang mati, ia tahu ada yang menjaga dirinya.