Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Double Esspresso - The One Who Hurt You Most

minmerry's picture

@ DOUBLE ESSPRESSO

the one who hurt you most

Siapa dia?

Dia yang kukenal, dan yang paling mengenalku.

Dia yang terdekat, yang sungguh-sungguh mengenalku-kah?

The one who hurt you most.

Who?

 
Hari yang biasa. Keira memulai lagi espressonya. Segelas dan segelas yang lain. Memandang ke dalam coffee shop, tidak cukup banyak yang ada disana. Pagi ini, sebelum mengejar bus, Iik datang untuk menemaniku sepanjang pagi. Mengobrol tentang banyak hal.

Iik yang tegar, Iik yang kuat, yang ku kenal. Dia duduk dihadapanku.

'So? How is life?' Tanyaku, memulai pembicaraan.

'Like always, yah, Kei… harus selalu dikejar...' Jawabnya. 'Still doing sesuatu yang sejalan dengan hati nurani...'

Aku tertawa mendengar jawabannya. Khas Iik. 'Hidup yang indah...' Kataku. Ia membenarkan dengan mengangguk-angguk. Pagi ini, sambil menemaniku, ia datang dengan laptopnya. Masih ada puluhan foto yang harus diedit, katanya. Harus segera selesai. Aku yakin, dia tak perlu diingatkan untuk lebih santai.

Ada dua kepribadian yang ku kenal dari dirinya hingga hari ini. Kadang terlihat keras kepala, tapi sangat melankolis dan  lembut. Dia tidak tahu, aku menambahkan "manis" dalam kepribadiannya. Walau aku tahu dia tidak akan suka dilabel "manis" oleh-ku.

Ada bagian hidupnya, yang entah untuk tujuan apa, sama denganku. Ada bagian dari dirinya, yang entah untuk tujuan apa, tersimpan pertanyaan yang tidak akan mampu dijawab. Bagian hidup yang tidak bisa lagi kembali. Berapa kalipun, kami bertanya.

Ah, hari ini aku akan kembali menjadi Keira yang paling membosankan. Di sini, di coffee shopku,  dan Iik akan sibuk dengan tugasnya.

Aku memutar album be my side. Agak terlalu romantis, namun lagu-lagunya membuat aku merasakan nuansa yang menyenangkan, ringan, dan tidak terlalu sepi.

Aku tidak bertemu dengan Glass beberapa minggu ini. Dia sibuk dengan pementasan yang lain dalam tugasnya sebagai sutradara. Malam ini, aku akan mengunjungi lokasi latihan mereka. Menemui Glass. Hayden akan menutup coffee shop, aku bisa meninggalkan @Double Esspresso lebih awal. Dan, menikmati malam yang berbeda dengan suasana yang berbeda.

Menyusun mug. Buku menu. Mengisi kembali cangkir yang sudah kosong.

Tamu yang berganti.

Lalu aku memandang pada satu sosok yang duduk di cofee bar-ku.

'Kamu baik-baik saja?’ Tanyaku. Dia kelihatan tidak sehat. Pucat.

Dia menggeleng. ’Aku tidak apa-apa.’

‘Pertama kali ke coffee shop?’

Dia menggeleng. Dia memakai kalung panjang dengan salib kecil. Rambut ikalnya jatuh diantara bahunya. Dia wanita yang cantik. Wajahnya terlalu pucat. Matanya gelap dan kelelahan.

Dia menunggu seseorang. Aku melihat dia beberapa kali menelepon seseorang dan kelihatannya siapapun yang ia cari saat itu, tidak menjawab panggilan teleponnya. Dia terlihat putus asa.

Aku membuatkan pesanannya. Meletakkan secangkir kopi didepannya.

’Thanks.’

Sambil menunggu tamu yang lain, aku mulai kembali membaca Enzo. Namun ia memulai obrolan sore itu.

‘Aku Sally.’

‘Keira.’ Aku menjawabnya.

‘Dia melanggar janjinya lagi. Kamu tahu?’

 

Aku meletakkan buku didepanku, dan menatapnya. ‘Apakah dia pernah menepatinya?’ Tanyaku.

 

Dia mengangguk. ’Ya, dia menepatinya... Aku rasa, walau aku tidak bisa mengingatnya.’

 

’Apakah ada sesuatu yang penting? Mungkin dia lupa?’ Aku bertanya.

 

’Ya.’ Ia menjawab. ’Ini penting. Dan benar, mungkin ia melupakannya. Dan ini, ini yang paling penting.’

 

Aku tidak mengerti apa maksudnya. Selalu ada yang lebih penting, maksudku. You know.

 

’Kamu meneleponnya, Sally?’

’Aku sudah mencoba. Dan voicemail.’

’Kamu terlihat tidak sehat...’

’Tidak.’ Dia tersenyum. ’Tidak. Hanya... Ini sudah memasuki bulan ke tiga.’

 

Aku mengerti, sebuah senyum muncul begitu saja dari diriku. ’Selamat. Tadinya aku khawatir, wajahmu terlihat lelah.’

’Aku terlalu bodoh untuk menunggu hingga hari ini, baru akan memberitahunya.’

’Kejutan?’ Tanyaku.

Dia mengangguk, menunduk mengelus perutnya...

Perut dengan gundukkan kecil? Ah. Seorang ibu.

’Aku ingin memberinya kejutan...’ Sally, dia terdiam dan melanjutkan, ’Dan ia tidak datang.’

 

Aku menyaksikan kekecewaan itu. Aku menyarankannya untuk menunggu beberapa saat lagi. Aku menawarkan untuk membuatkan makan malam untuknya.

 

Sally. Ini anak pertama mereka setelah menikah dua tahun lamanya. Sally. Seseorang lain yang kukenal, lagi, di kota ini. Menyenangkan. Sungguh. Aku berharap suaminya, entah apapun yang ia kerjakan, mengingat janjinya pada istrinya ini. Namun aku punya banyak hal dalam kepalaku yang belum tersusun dengan baik hingga hari ini. Aku memilih untuk menyusun milikku dan bukan menghakimi keluarga orang lain.

 

’Salmon fillet. Dan beras merah. Cobalah.’ Aku meletakkan nampan itu di depannya. ’Aku akan mengambil sup untukmu. Aku harap kamu tidak mual, Sally.’

 

Dia menikmati makan malamnya. Dan entah kenapa, aku tahu dia akan menunggu hal yang sia-sia. Suaminya tidak akan datang, bukan karena ia suami yang jahat. Namun karena dunia selalu penuh dengan hal hal yang demikian. Saat untuk hal yang terlalu penting, hal itu yang akan dilupakan dan diabaikan. Dan saat untuk hal yang sepele, seluruh dunia sibuk membicarakan dan menghakimi. Dan itulah kenyatannya. Kenyataan yang membuat aku, Keira, tidak tertarik untuk bertanya.

 

’Jika dalam 15 menit nanti ia tidak datang. Aku yang akan menemanimu untuk ke dokter, Sally.’

 

’Aku berterimakasih, namun tidak apa-apa. Aku bisa sendiri.’

 

’Aku ingin menemanimu. Aku bisa menemanimu, aku akan ke gedung dekat rumah sakit. Jadi, bisa sekalian jalan.’

 

Aku melihat pandangan terharu dimatanya.

’Ayolah, ini Cuma sekalian jalan. Aku bukan ibumu or something. Tak usah seperti itu.’

’Baik, aku setuju.’ Jawab Sally.

 

Lima belas menit. Dua puluh menit. Hayden tiba. Aku menitipkan coffee shop padanya. Iik sudah lebih dulu pamit beberapa jam yang lalu.

 

Sally tidak lagi mencoba menelepon suaminya.

’Yuk.’ Aku mengambil tas, dan mengajaknya untuk berangkat.

 

Hampir jam tujuh malam. Saatnya denting-denting alat makan bertemu dengan cerita anggota keluarga, dalam setiap rumah di pearl city. Aku dan sally melangkah di jalan yang sejuk. Menuju rumah sakit. Ada kehidupan kecil dalam perut Sally. Aku dan Sally akan menjenguk si kecil dalam perutnya, mungkin ultrasound.. Aku merangkul bahunya dan berjalan.

 

’Tidak apa-apa. Aku menggantikan dia untuk menepati janji. Jangan dipikirkan.’ Kataku.

’Sepulang ke rumah nanti, kamu masih bisa memberitahu dia.’

 

’Aku terlalu naif untuk memberinya kejutan.’

Pertanyaan? Pernyataan? Sama saja. Dia menorehkan hitungan dalam hatinya, mungkin. Satu lagi kekecewaanku, begitu mungkin bisik Sally dalam hatinya. Aku tidak tahu. Ini hidup Sally, dan aku Keira, harus sembuh dari penyakit kejiwaan yang terus mencoba menghubungkan cerita orang lain dengan hidupku. Terlalu banyak cerita. Oke, soal penyakit kejiwaan itu, tidak lucu.

 

’Dia juga tidak pernah tahu.’ Kataku.

’Sorry?’ Tanya Sally.

’Ben.’ Jawabku. ’Ben juga tidak pernah tahu, aku pernah mengandung anaknya.’

Aku melangkahkan kakiku lagi. Berjalan.

’Dia meninggal sebelum tahu.’

Aku melihat keterkejutan dalam wajahnya.

 

’Maaf...’

‘Yah... Itu sudah berlalu.’ Aku tersenyum. ‘Dia juga tidak menepati janjinya untuk menjagaku seumur hidupnya.’

‘Jadi, Maafkan dia, Sally. Maafkan dia kali ini, lakukan untukku.’

 

Aku menatap matanya yang indah. Dia mengangguk.

 

’Aku bukan yang paling tahu Sally. Namun, kadang aku pun tidak tahu harus meletakkan harapan pada siapa, yang dengan jaminan dia akan menepatinya untukku.’

Aku melanjutkan,

’Lihat, aku bertemu denganmu. Dan aku yang bukan siapa-siapa yang menepati janji yang tidak pernah aku berikan.’

 

’Kadang hidup memang aneh.’ Kataku.

’Hidup hanya perlu kerendahan hatimu untuk melihatnya saat itu juga ke arah yang berbeda, tepat saat kamu kecewa.’

 

Sally bercerita malam itu. Cerita diantara wanita, tanpa butuh pemahaman yang rumit. Aku bersyukur aku menebak hal yang benar. Aku bersyukur, aku mengeluarkan kata-kata yang tepat. Aku bersyukur, aku menyelamatkan satu janji.

 

Atau menunda masalah yang cepat lambat akan muncul? Entah.

 

Sally mungkin masih akan membuat janji-janji. Janji-janji yang hanya menghibur dirinya. Janji-janji yang ia tahu, tidak perlu memaksa orang untuk berikan padanya. Karena ia merasa ia terlalu perlu janji itu? Karena aku tahu, janji itu bukan yang ia perlukan.

 

Aku sampai di gedung, dimana Glass sedang berlatih pertunjukan drama bersama teamnya.

 

Aku melambai padanya. Ia menatapku, tanpa senyum. Dan mengeluarkan ponselnya. Aku duduk cukup jauh dari panggung di mana ia berlatih dengan teamnnya. Beberapa anggota juniornya menyapaku. Dan senang dengan kedatanganku. Kelihatannya, sutradara mereka jarang mendapat tamu seorang wanita.

 

Ponsel dalam saku jaket ku bergetar.

Sms darinya, dari Glass.

’Tidak terlalu malam? Kenapa kesini? Pulang bareng.’

 

Aku mengangguk padanya. Dan ia melanjutkan latihannya.

 

Dia memakai lagu lagu asing untuk dramanya. Aku tidak terbiasa untuk menikmati lagunya, namun lagu itu bagus. Aku mencoba duduk dan menyusun puzzle cerita dalam kepalaku. Mereka berlatih dari satu scene ke scene yang lain. Suasana gedung dingin, bergema. Suara mereka yang berlatih memenuhi gedung. Ada team penari yang menimbulkan suara ketukkan kaki di lantai panggung.

 

Dan aku tertidur.

 

Aku bermimpi.

 

Tempat yang sama. Aku berdiri menghadap ke panggung. Melihat team itu berlatih.

 

Aku harus sungguh sungguh memikirkan untuk mencari waktu menemui psikolog. Aku, datang menemui Glass, duduk di gedung pertunjukkan. Lalu tertidur, bermimpi hal yang bernar benar nyata.

 

Aku sadar sepenuhnya ini mimpi.

 

Itu Glass. Glass dalam mimpi. Dia berdiri bersama seorang gadis. Kurasa gadis itu agak mirip denganku.

 

Namun, oke, aku ga akan berani membuat cerita ini makin konyol dengan menentukan gadis itu adalah aku.  Bukan. Dia hanya mirip denganku. Rambut, wajah, mata, agak mirip.

 

Glass menolehkan wajahnya, menatapku. Diam. Dia membantu gadis itu untuk mengambil tas dari bahunya. Lalu menggenggam tangan gadis itu. Lalu, gadis itu menatap kearahku. Dengan tangan yang digenggam Glass. Aku terkejut. Siapa gadis ini? Semua sikap mereka begitu wajar.

 

Aku terbangun.

 

Gadis itu ada di sana. Berdiri disampingnya.

 

Aku memanggil Glass. ‘Glass...’

 

Glass menoleh, berjalan kearahku. ‘Masih lama?’ Aku menatapnya...

’Masih. Tidak apa apa, kamu boleh tidur sambil menungguku. Kamu pulang bersamaku nanti.’

 

’Itu siapa?’ Tanyaku.

 

’Itu bukan siapa-siapa.’ Glass memelukku. Dan aku melihat gadis itu tersenyum melihat Glass yang memelukku.

 

Mereka meneruskan latihan.

 

Beberapa saat setelah itu, aku tertidur lebih lama. Dan tanpa mimpi.

 

 

 

He is the one who i let to hurt myself most?

Is He knew that?

People arround by people who able to hurt theirselves?

Even Ben, never kept his promises.

Just put the question aside. No one can.

U know, Just...

Live happily.


__________________

logo min kecil

iik j's picture

@min, itu aku?

Ia membenarkan dengan mengangguk-angguk. Pagi ini, sambil menemaniku, ia datang dengan laptopnya. Masih ada puluhan foto yang harus diedit, katanya. Harus segera selesai. Aku yakin, dia tak perlu diingatkan untuk lebih santai.

ha ha ha... ngerti aja.... seseorang mengajariku untuk lebih santai 3 bulan terakhir ini Min... dan ternyata itu manjur, karena tanpa melawan aku menurutinya (meski santai menurutku masih tetap ngebut 100 km/jam menurutnya... ha ha ha ha...)

Ada dua kepribadian yang ku kenal dari dirinya hingga hari ini. Kadang terlihat keras kepala, tapi sangat melankolis dan  lembut.

Beberapa orang mengatakan demikian juga. Dulu aku merasa bingung karena itu seperti memiliki 2 kepribadian, tetapi aku bersyukur sekarang karena memilikinya. Keduanya bisa digunakan di saat yang tepat dan tempat yang tepat sesuai dengan kondisi... hi hi hi hi....

Dia tidak tahu, aku menambahkan "manis" dalam kepribadiannya. Walau aku tahu dia tidak akan suka dilabel "manis" oleh-ku.

Aku ga tahu, bagaimana dan apa sebabnya kamu memasukkan kata ini. Hihhh.... aku merasa 'jauh' dari itu.......

Ada bagian hidupnya, yang entah untuk tujuan apa, sama denganku. Ada bagian dari dirinya, yang entah untuk tujuan apa, tersimpan pertanyaan yang tidak akan mampu dijawab. Bagian hidup yang tidak bisa lagi kembali. Berapa kalipun, kami bertanya.

he he he he.. baru kali ini aku menemukan seseorang yang menebak dengan tepat... ha haha ...

Yahhh... dikejar satu satu... dicari jawabnya satu-satu... kalau ketemu ya Puji TUhan... kalau nggak ya sudah... ditunggu aja... whuaaaaaaaaaaa...

Titip pesan buat Keira ya... sori kemaren2 sibuk berat... besok setelah bertugas di luar pulau aku mau mampir lagi nggak bawa tugas n laptop, tapi bawa oleh2 dan cerita yang buanyakkkkk yang bisa membuatnya tertawa...

ha ha ha ha...

passion for Christ, compassion for the lost