Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

The Genocide by God

tonypaulo's picture

Peluluhlantahan kota Sodom dan Gomora, perintah pembasian satu bangsa Hesbon, orang Het, orang Girgasi, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, jika diperhatikan dari sisi humanis adalah sebuah bentuk pembasmian sebuah etnis atau bangsa, yang lazim disebut dengan istilah Genocide yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam konteks hak asasi manusia dan kesetaraan dalam hak untuk hidup, nampaknya tidak mudah memahami mengapa Tuhan memerintahkan atau bahkan turun tangan untuk membasmi suatu etnis dan suatu bangsa, bahkan ketika raja Saul tidak membunuh Agag raja orang Amalek dan menyelematkan hewan yang baik, Tuhan begitu marah kepada Saul, karena ketidaktaatannya untuk menumpas semua bahkan termasuk binatang dari bangsa Amalek.

Memang dari bangsa-bangsa yang diperintahkan untuk dibasmi, bangsa-bangsa yang memulai perang dengan bangsa Israel, atau mencari persoalan terlebih dahulu, namun apakah lantas ketika raja dan beberapa petingi bangsa-bangsa tersebut yang memutuskan untuk berperang dang mencari perkara terhadap bangsa Israel atau bahkan kepada Allah, lantas semua termasuk hewan yang tidak mengerti apa-apa harus dibasmi secara total?.

Tentu jika dilihat dari sudut pandang Tuhan Allah, IA punya hak preogratif untuk mementukan apa yang harus terjadi dan apa yang sebaiknya terjadi pada satu manusia, atau kaum manusia, seperti yang terjadi dalam peristiwa air bah yang hanya menyisakan Nuh dan 7 orang keluarganya, untuk memulainya dari awal lagi.

Namun apakah tidak terkesan Tuhan Allah agak berlebihan jika harus membasmi satu bangsa? Atau bahkan membunuh anak-anak? Sampai juga harus membunuh ternak-ternak yang tidak sama sekali tahu persoalan?
Apakah tidak lebih baik bagi Tuhan hanya membasmi Raja atau petinggi, atau para prajurit-prajuritnya saja, dan membiarkan anak-anak serta perempuan tetap hidup, walaupun tentu akan menyisakan potensi balas dendam ketika anak-anak itu bertumbuh menjadi orang dewasa dan sudah sanggup mengangkat senjata dan berperang?

Bukan saya bermaksud untuk mendudukan Tuhan Allah dalam meja perkara dan menjadi hakim bagi Tuhan atas perbuatanya yang dapat disebut sebagai suatu genoicide, namun justru saya rindu untuk mendapatkan pemahaman secara proposional dan komprehensif terhadap suatu fenomena yang sangat tidak mudah untuk dipahami ini.

Dan bukan juga bermaksud untuk menjadi advocat atau pembela bagi Tuhan Allah, Tuhan Allah tidak perlu pembela dan pembelaan, hanya mencoba merekontruksi peristiwa demi peristiwa untuk dapat selalu mengamini bahwa Tuhan itu maha baik dan maha benar, termasuk dalam pembasmian suatu kaum bangsa.
Bukankah Tuhan dapat mempersuasikan terlebih dahulu, sebelum meluluhlantahkan atau membasmi suatu bangsa? Walaupun tentu Tuhan lebih tahu apa yang harus IA lakukan, ketimbang dari manusia yang pemikiran dan pandangannya tak seluas Tuhan memandang.

1Sa 15:2  Beginilah firman TUHAN semesta alam: Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka, ketika orang Israel pergi dari Mesir.
1Sa 15:3  Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai."
Jika memperhatikan kronologisnya maka didapati bahwa bangsa Amaleklah yang memulai peperangan dan permusuhan terlebih dahulu
Exo 17:8  Lalu datanglah orang Amalek dan berperang melawan orang Israel di Rafidim.

Sehingga Tuhan menetapkan suatu keputusan atas permusuhan bangsa Amalek terhadap orang Israel yang secara tidak langsung permusuhan kepada Tuhan

Exo 17:14  Kemudian berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Tuliskanlah semuanya ini dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan, dan ingatkanlah ke telinga Yosua, bahwa Aku akan menghapuskan sama sekali ingatan kepada Amalek dari kolong langit."

Jadi bangsa Amalek tidak memberikan pilihan bagi Tuhan untuk tidak menumpas bangsa tersebut, pilihannya bangsa Israel yang punah atau bangsa Amalek yang punah. Sebenarnya apa yang menjadi motivasi bagi bangsa Amalek untuk memerangi dan memusuhi bangsa Israel pun tidak jelas, selain digambarkan bahwa bangsa Amalek adalah bangsa yang suka dengan kekerasan dan peperangan (barbar), dan suka untuk menghegemoni suatu bangsa.

Namun bukankah bangsa Mesir menindas bangsa Israel? Bahkan membunuh bayi-bayi laki-laki bangsa Israel? Walaupun pembunuhan bayi tersebut menuai kematian anak-anak sulung dari bangsa Mesir sebagai tulah, tetapi Tuhan tidak sedemikian marahnya kepada bangsa Mesir, semarah Tuhan kepada bangsa Amalek, sehingga Tuhan sendiri yang berniat menghapuskan sama sekali ingatan kepada Amalek dari kolong langit.

Namun pembasmian suku Amalekpun tidak seperti Tuhan melululantahkan Sodom dan Gomora, melalui malaikat-malaikatnya, justru Tuhan menunjukan keberpihakannya kepada bangsa Israel dan lewat tangan bangsa Israel bangsa Amalek dibasmi secara total.

1Ch 4:42  Dan sebagian dari mereka, dari bani Simeon, sebanyak lima ratus orang, pindah ke pegunungan Seir. Sebagai kepala mereka ialah Pelaca, Nearya, Refaya dan Uziel, anak-anak Yisei.
1Ch 4:43  Mereka membinasakan sisa orang Amalek yang telah meluputkan diri. Lalu mereka diam di sana sampai hari ini.

Apakah bangsa Amalek terlalu jahat dimata Tuhan sama dengan orang-orang Sodom dan Gomorah? Tidak dapat diketahui pasti, karena dalam Alkitab tidak tercatat secara jelas apa motivasi bangsa Amalek sehingga Tuhan ingin membasmi bangsa tersebut secara total?.

Kalau bangsa-bangsa yang berperang dengan bangsa Israel, bangsa Filistin dan bangsa Amon pun, menjadi bangsa yang memerangi bangsa Israel, bahkan dalam beberapa kesempatan bangsa Filistin menjajah bangsa Israel. Walau tanah bangsa Filistinlah yang menjadi wilayah bangsa Israel bermukim yang menyebabkan motivasi permusuhan itu terjadi, lain halnya dengan bani Amon yang semula Tuhan memerintahkan dalam perjalan bangsa Israel ke tanah perjanjian, bahwa bangsa Israel tidak boleh memerangi bangsa Amon, akhirnya bangsa Amon yang pertama menyerang bangsa Israel, bukankah bangsa Amon sama seperti bangsa Amalek? Tapi mengapa bangsa Amon dibiarkan hidup dan berkembang sedang bangsa Amalek dipunahkan?

Ada sedikit petunjuk dari commentaries JFB

Psa 83:3  (83-4) Mereka mengadakan permufakatan licik melawan umat-Mu, dan mereka berunding untuk melawan orang-orang yang Kaulindungi.
Psa 83:4  (83-5) Kata mereka: "Marilah kita lenyapkan mereka sebagai bangsa, sehingga nama Israel tidak diingat lagi!"
Psa 83:5  (83-6) Sungguh, mereka telah berunding dengan satu hati, mereka telah mengadakan perjanjian melawan Engkau:

Untuk sementara dugaan saya adalah bangsa Amalek adalah bangsa yang ingin melenyapkan bangsa Israel, sementara bangsa Filistin adalah bangsa yang bertahan atas klaim teritori wilayahnya, sedang bangsa-bangsa seperti bangsa Amon adalah bangsa yang takut akan hegemoni bangsa Israel, sebagaimana bangsa Israel merebut wilayah bangsa Filistin (dari perspektif bangsa Amon), sehingga melancarkan serangan terlebih dahulu untuk bertahan atau attack to defense.

Jadi sekali lagi opsi yang tersedia karena motivasi bangsa Amalek adalah,bangsa Israel yang punah atau bangsa Amalek yang punah. Hasi akhirnya bangsa Amaleklah yang punah dan terhapus dari kolong langit, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri.
Apakah kemudian cara pembasmian dengan pedang terhadap anak-anak kecil, bayi-bayi yang menyusu, wanita-wanita yang tidak dapat melawan atau orang tua yang tidak bisa mempertahankan diri dapat dipandang sebagai suatu kebenaran? Demikianlah moralitas humanisme dapat mengajukan suatu argumen bahwa ternyata Tuhan yang maha kasih dapat berlaku sedemikian “brutal” dan tidak berprikemanusiaan.

Tak dapatkah Tuhan melakukan seperti yang dilakukan-Nya di Mesir, anak sulung dari bangsa Mesir bahkan anak sulung dari hewan pun mati “dengan tenang” bukan dengan pedang, skenario yang sama terjadi pada anak-anak, bayi, wanita, orang tua bahkan hewan bangsa Amalek?

Biarlah yang mengangkat pedang yang mati oleh pedang juga, sementara bagi yang tidak mengangkat pedang, mati dengan cara lainnya? Seperti tulah kepada anak sulung orang Mesir. Karena kematian yang cepat dan tidak menyakitkan lebih “manusiawi” dibandingkan mati oleh pedang secara perlahan-lahan kehabisan darah atau luka di organ tubuh akibat tusukan yang menyakitkan?

Dunia bukan sorga, realitas kekacauan akibat manusia menolak perintah Tuhan, dan menyerahkan diri secara sukarela kepada tipuan iblislah yang membentuk realitas dunia yang kejam, terkadang sebagai manusia, sering sekali berpikir secara paradoksial terkadang terlalu prematur dan parsial. Sehinga menampakan refleksi kecurigaan manusia kepada Tuhan yang sewenang-wenang atas keabsolutan Nya.

Apakah  Tuhan senang untuk mengirimkan air bah? Senang melihat bayi-bayi mungil nan lucu dibasmi? Bahkan senang dengan pembasmian masal hewan? Saya percaya tidak, justru Tuhan merasa sangat sedih itu harus terjadi. Hanya iblis yang disenangkan oleh peristiwa tersebut, kekacauan yang dibuatnya berhasil membuat dunia ini menjadi dunia yang kacau (chaos), sehingga air bah, Sodom dan Gomorah, pembasmian bangsa Amalek harus terjadi.

Pasti ada suatu penjelasan yang dapat dipahami (reasoning)dari kejadian tersebut, ketika paham moralitas manusia berhadapan dengan perbuatan Tuhan yang tak dapat sepenuhnya dimengerti oleh manusia (transenden). Moralitas manusia menilai apa yang dilakukan dalam pembasmian, termasuk anak-anak kecil, bayi, wanita, orang tua bahkan hewan adalah tidak bisa diterima oleh pemahaman moral manusia sebagai suatu tindakan yang baik dan benar, mungkin di titik inilah kaum moralis yang memilih menjadi atheis mendapatkan “angin segar” atas keputusannya tak berTuhan.

Tentu akan menjadi suatu dialektika moral dengan ketetapan Tuhan yang absolut. Dalam ranah pemahaman manusia 1+1=2 adalah benar namun bukan suatu yang absolut, kemudian ketetapan Tuhan atas pemberian gender yang adalah absolut menjadi relatif dalam isu transgender, demikianlah pergulatan antara moral humanis dengan ketetapan Tuhan yang absolut, tentu secara pribadi saya memihak kepada ketetapan Tuhan yang absolut, walaupun menyediakan diri untuk memberikan penjelasan yang dapat dipahami kepada kaum humanis non-theist, mengenai the genocide by God, mengantisipasi hal-hal demikian.
Sebenarnya dialektika model humanis semacam ini bisa ditemukan dalam dialog segitiga antara Ayub, teman-temannya dan Tuhan.
Ayub (moral humanisme, yang mencurigai kesewenangan Tuhan) ;

Job 3:23
(ITB)  kepada orang laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah?
(KJV)  Why is light given to a man whose way is hid, and whom God hath hedged in?

Teman Ayub yang menyalahkan Ayub (moral humansime yang membela bahwa Tuhan tidak sewenang-wenang);

Job 4:17 
(ITB) Mungkinkah seorang manusia benar di hadapan Allah, mungkinkah seseorang tahir di hadapan Penciptanya?
(KJV)  Shall mortal man be more just than God? shall a man be more pure than his maker?

Teman Ayub yang menyalahkan teman Ayub karena menyalahkan Ayub (mencoba memberikan penjelasan atas kebenaran absolut Tuhan);

Job 33:12 -14
Sesungguhnya, dalam hal itu engkau tidak benar, demikian sanggahanku kepadamu, karena Allah itu lebih dari pada manusia.
Mengapa engkau berbantah dengan Dia, bahwa Dia tidak menjawab segala perkataanmu?
Karena Allah berfirman dengan satu dua cara, tetapi orang tidak memperhatikannya.


Behold, in this thou art not just: I will answer thee, that God is greater than man.
Why dost thou strive against him? for he giveth not account of any of his matters.
or God speaketh once, yea twice, yet man perceiveth it not.

Job 34:11-12
Malah Ia mengganjar manusia sesuai perbuatannya, dan membuat setiap orang mengalami sesuai kelakuannya.
Sungguh, Allah tidak berlaku curang, Yang Mahakuasa tidak membengkokkan keadilan.

For the work of a man shall he render unto him, and cause every man to find according to his ways.
yea, surely God will not do wickedly, neither will the Almighty pervert judgment.
Tuhan (kebenaran absolut mengatasi moral humanis hasil rasio manusia) ;
 Job 40:7 -8

"Bersiaplah engkau sebagai laki-laki; Aku akan menanyai engkau, dan engkau memberitahu Aku.
Apakah engkau hendak meniadakan pengadilan-Ku, mempersalahkan Aku supaya engkau dapat membenarkan dirimu?

Gird up thy loins now like a man: I will demand of thee, and declare thou unto me.

Wilt thou also disannul my judgment? wilt thou condemn me, that thou mayest be righteous?

Jelas nampak perbedaan dalam posisi moral humanis baik yang menyalahkan Tuhan ataupun yang membela Tuhan. Dalam posisi moral humanis yang menyalahkan Tuhan, posisi sentral ada di manusia, apa yang dirasakan dan apa yang diketahui oleh manusia, sebagai korban ataupun pihak yang merasa tak berdaya, manusia dengan komposisi moral humanis mengajukan gugatan terhadap ketidakadilan dan kesewenangan yang dilakukan oleh Tuhan, tanpa mencoba memahami dan percaya pada keabsolutan kebaikan dan keadilan Tuhan. (human center)

Sedang dalam posisi moral humanis yang membela Tuhan, justru menyudutkan manusia secara membabi buta, tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi dan subtansi dari peristiwa tersebut, padahal rasio manusia tidak akan bisa menjelaskan motif dan intensi dari Tuhan secara sepenuhnya, it’s beyond human ratio,  menobca menjelaskan secara rasio terhadap keseluruhan motif dan intensi Tuhan adalah suatu blunder yang akhirnya memancing ego untuk self defense, itulah yang dilakukan oleh teman-teman Ayub yang mengeroyok Ayub lewat argumen-argumen rasionalis humanis.

Posisi yang tepat adalah yang diambil oleh Elihu, tidak berpihak, mencoba memahami kondisi Ayub namun tidak berusaha untuk mengurai dan menjelaskan berdasarkan rasio, melainkan memberikan pertanyaan-pertayaan yang menunjukan keabsolutan Tuhan, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut tak akan bisa dijawab oleh manusia secerdas atau sebrilian apapun rasionya dalam memahami sesuatu yang teramat abstrak sekalipun. Elihu menjelaskan bahwa memang begitu banyak yang tak dapat manusia mengerti dan pahami secara rasio, menjelaskan secara rasional terhadap hal yang tak dapat dimengerti karena diluar jangkauan pemahaman manusia adalah suatu kesia-siaan bahkan suatu blunder yang justru akan memperkeruh pemahaman, dan membenarkan bahwa Tuhan sewenang-wenang, karena demikianlah perspektif manusia (human center), karena itu Elihu menjelaskan dari perspektif Tuhan yang walau tak terjangkau namun bisa diimani dan dipercayai (Faith center)

Sedang dengan tegas Tuhan dalam penjelasannya kepada Ayub, menyatakan bahwa dalam segala keputusan Nya Tuhan adalah adil dan benar, dan bagaimanapun juga tanah lihat tidak bisa memperkarakan sang penjunannya, dengan menyalahkan Tuhan maka manusia akan membenarkan diri sendiri, sedang Tuhan bukan tidak mau dipersalahkan, Tuhan itu sendiri bebas dari kesalahan karena IA adalah Tuhan yang absolut. (God Center)

Jadi jelas bahwa the genocide by God adalah punishment by God, yang walau dalam kacamata moral humanis itu dapat diistilahkan sebagai genocide, namun dari kacamata kebenaran Firman, itu adalah hukuman atas perbuatan suatu bangsa secara kolektif
Mengenai hal yang sejelas-jelas dan seterang-terangnya tentang Air Bah, Sodom dan Gomora, pembasmian bangsa Amalek, saya percaya tidak akan dapat dipahami secara keseluruhan oleh rasio dan nurani manusia, karena jika kita bisa memahami keseluruhan dari apa yang Tuhan dilakukan, maka manusia menjadi sama seperti Tuhan Allah, sehingga bisa memahami Tuhan yang beyond our ratio, karena itulah iman atau percaya menjadi suatu yang relevan, saat rasio tak lagi bisa mencerna (buntu), memang harus ada lompatan kepada iman sehingga rasio yang buntu tersebut bisa diurai sesuai dengan proporsi keabsolutan Tuhan. sehingga sentralnya adalah Tuhan (God Center)

Jika diperhatikan bahwa dari Air Bah yang adalah pemusnahan secara masal, Tuhan berjanji tidak akan melakukan demikian lagi, menjadi “mengecil” dalam peristiwa Sodom dan Gomora, dan kembali semakin “mengecil” pada pembasmian bangsa Amalek, dst. Dan semakin terus jaman bergulir Tuhan Allah nampak lebih “persuasif” dalam mengkomunikasikan intensi dan kemarahan-Nya. Pertobatan Niniwe, sampai dengan kematian Tuhan Yesus, adalah suatu alur yang membuktikan semakin “persuasif”nya Tuhan dalam “pendekatan” kepada manusia, bukan berarti Tuhan menyesali keputusan-Nya sebelumnya, namun lambat laun manusia yang adalah mahluk pembelajar, belajar juga terhadap kesalahannya, baik secara kolektif dan individual, sehingga memang dari jaman air bah yang hampir seluruh manusia itu jahat dihadapan Tuhan dan menimbulkan sakit hati Tuhan, dari keturunan Nuh orang benar, manusia-manusia jaman selanjutnya adalah manusia yang tidak secara kolektif menimbulkan sakit hati Tuhan.

Dari mata ganti mata bertransformasi dan menyesuaikan dengan kondisi jaman menjadi tampar pipi kiri berikan pipi kanan. Menunjukan manusia dalam perkembangan kemanusiaannya tidak lagi “primitif” dan “barbar” dalam memanusiakan kemanusiaan itu sendiri.

Terus terang, bagi saya pribadi tidak mudah untuk menulis dan mencoba mengurai pemahaman tentang tema ini, karena jujur banyak pemahaman saya yang saya gantikan dengan percaya saja, yang mungkin dapat diartikan sebagai blind faith oleh kaum skeptis. Suatu saat nanti jika ada kesempatan untuk menanyakan langsung kepada Tuhan, terhadap unanswerable question ini, mungkin ada jawaban yang dapat dipahami secara terang benderang. Sementara ini saya secara pribadi percaya bahwa Tuhan itu maha baik dan maha kasih, karena Tuhan sendiri pun memberikan diri-Nya untuk ditindas, dipukuli, diludahi, dihina, bahkan dibantai diatas kayu salib, juga mengalami kesewenang-wenangan oleh manusia, dan oleh saya pribadi sebelum mengalami perjumpaan dengan Tuhan secara pribadi. Tidak perlu saya melihat orang lain yang sewenang-wenang terhadap Tuhan, sayapun pernah melakukannya dulu atau sampai sekarang tanpa saya sadari.

Hanya ini yang bisa saya jadikan jawaban ketika ada orang-orang yang pemahamannya cederung moralis humanis terhadap sangkaan genocide yang dilakukan Tuhan, sambil berdoa untuk orang tersebut agar mata hatinya dibukakan oleh Tuhan, karena jika menjelaskannya secara rasio seperti teman-teman Ayub yang menyalahkan Ayub, sama saja memberi umpan untuk semakin orang tersebut menyudutkan Tuhan dan merasa dirinya lebih bermoral dan benar dari Tuhan.

Semoga pemahaman ini bisa menjadi sesuatu yang sama-sama bisa kita terus kembangkan untuk memberi jawab kepada teman-teman yang mungkin masih dan akan terus dihinggapi ruang skeptis. Sambil berdoa buat mereja yang merasa bahwa dengan moral humanis, perbuatan Tuhan ataupun Tuhan itu sendiri sebagai dongeng pengantar tidur anak-anak, sampai suatu saat semua lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan Allah manusia.

GBU
 

Hannah's picture

Iman ketiga

Terus terang, bagi saya pribadi tidak mudah untuk menulis dan mencoba mengurai pemahaman tentang tema ini, karena jujur banyak pemahaman saya yang saya gantikan dengan percaya saja, yang mungkin dapat diartikan sebagai blind faith oleh kaum skeptis. Suatu saat nanti jika ada kesempatan untuk menanyakan langsung kepada Tuhan, terhadap unanswerable question ini, mungkin ada jawaban yang dapat dipahami secara terang benderang. Sementara ini saya secara pribadi percaya bahwa Tuhan itu maha baik dan maha kasih, karena Tuhan sendiri pun memberikan diri-Nya untuk ditindas, dipukuli, diludahi, dihina, bahkan dibantai diatas kayu salib, juga mengalami kesewenang-wenangan oleh manusia, dan oleh saya pribadi sebelum mengalami perjumpaan dengan Tuhan secara pribadi. Tidak perlu saya melihat orang lain yang sewenang-wenang terhadap Tuhan, sayapun pernah melakukannya dulu atau sampai sekarang tanpa saya sadari.

Pengakuan yang sangat jujur.. memang kalo uda ngomongin Tuhan akhir2nya mentok di percaya (iman) entah itu percaya Tuhan maha baik atau percaya bahwa Tuhan adalah dalang yang sewenang2 terhadap ciptaan-Nya.
Yang percaya Tuhan maha baik mencoba mengerti dan mencari2 alasan mulia kenapa Tuhan sampe menyuruh manusia saling membinasakan sesamanya sementara yang percaya Tuhan tidak baik biasanya memberontak terhadap konsep keberadaan Tuhan itu sendiri.

Posisi yang tepat adalah yang diambil oleh Elihu, tidak berpihak, mencoba memahami kondisi Ayub namun tidak berusaha untuk mengurai dan menjelaskan berdasarkan rasio, melainkan memberikan pertanyaan-pertayaan yang menunjukan keabsolutan Tuhan, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut tak akan bisa dijawab oleh manusia secerdas atau sebrilian apapun rasionya dalam memahami sesuatu yang teramat abstrak sekalipun.

Sosok Elihu adalah sosok yang unik yang menggambarkan iman yang bukan cuma ke Tuhan tapi juga iman ke manusia.
Iman bahwa Tuhan baik dan bahwa manusia blum tentu selalu bersalah, bahwa ada penjelasan lain di balik apa yang manusia alami dalam hidupnya.

"When all think alike, no one is thinking very much." - Walter Lippmann

__________________

“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” - M. Gandhi