Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Natalan Blosas di Nungki

Purnawan Kristanto's picture

 

13567953221087429010

Para blogger merayakan Natal berupa aksi sosial dengan mengunjungi rumah-rumah yang diberi santunan beasiswa di pelosok Gunungkidul (foto Purnawan)


Bermula dari rencana kunjungan Hai Hai ke Solo, terbit gagasan untuk merayakan Natal bersama. Selama ini beberapa Blosas (blogger Sabdaspace) telah mengumpulkan uang untuk memberikan santunan bea siswa kepada murid SD Bopkri  dan juga bantuan operasional untuk asrama SMP Bopkri di Wonosari, Gunungkidul. Maka disepakati untuk mengunjungi mereka untuk menambatkan tali persaudaraan. Maka rencana ini pun diumumkan di Facebook. Beberapa Blosas mendaftarkan diri untuk merapat ke Solo. Sedangkan yang tidak bisa hadir, mengirimkan sumbangan.

Kamis (27 Desember), pagi-pagi benar Purnomo, seorang Blosas dari Semarang menggandeng Iik dan pak Atang menuju Salatiga. Tujuan mereka adalah menghampiri  pondok Pidia, yang terletak di sebuah kampung di kota Salatiga dekat Damatex. Di sebuah rumah milik pak Yesaya ini sejak 13 Maret 2008 telah digunakan untuk  enampung anak-anak yang nyaris terlantar pendidikannya karena orang tuanya kurang mampu. Mereka datang dari berbagai tempat: Ungaran, Semarang, Pekalongan, Purwokerto.

Mereka disekolahkan di Salatiga dan setiap libur sekolah mereka dikirim kembali ke rumah orang tuanya agar hubungan kasih sayang mereka tidak pudar. Kapan saja orang tuanya bisa mengambil kembali anaknya. Dalam liburan kali ini, Purnomo ingin mengajak anak-anak di pondok Pidia ini untuk rekreasi di pantai Gunungkidul yang terkenal dengan pasir putihnya.

Pukul sembilan pagi, rombongan anak-anak ini sudah sampai Klaten sebagai titik pertemuan pertemuan. Namun sayangnya, rombongan Blosas dari Solo yang jaraknya lebih dekat malah terlambat datang.  Rombongan Solo terdiri dari Tante Paku, Joli, dan Kittin. Sementara itu blogger luar kota yang ikut bergabung adalahMerry dari Surabaya, Johan dari Kalimantan dan Titi dari Tangerang. Karena waktu sudah mendesak, maka diputuskan untuk bertemu di Cawas, sebuah kecamatan di perbatasan antara Gunungkidul dan Klaten.

Rombongan kemudian bergerak ke arah selatan dengan merayapi pegunungan seribu, melalui jalur pegunungan seribu. Di tempat ini pernah dipakai oleh pangeran Sambernyowo sebagai basis perjuangan dalam berperang melawan penjajah Belanda. Dengan jalan hotmix yang mulus ala Gunungkidul, maka perjalanan cukup lancar. Rombongan menuju sasaran pertama yaitu SD Bopkri Wonosari. Di sini, Blosas Je Budi Cahyono sudah menunggu. Mobil-mobil diparkirkan di depan asrama SMP Bopkri Wonosari. Tanpa banyak membuang waktu, pak Budi segera memandu rombongan berjalan kaki ke SD Bopkri II.

Kami bertemu dengan 14 anak yang menerima santunan beasiswa yang dikumpulkan para Blosas. Ini adalah salah satu peran serta para Blosas  untuk menjaga keberlangsungan SD Bopkri. Kami merasa prihatin karena sekolah-sekolah di bawah yayasan Bopkri banyak tutup karena tidak dikelola dengan baik. Salah satunya adalah SD Bopkri I Wonosari yang sudah lama berhenti operasi. Sekarang gedungnya dialihfungsikan menjadi asrama murid-murid SMP Bopkri Wonosari. Penghuni asrama ini adalah anak-anak tidak mampu dari pelosok Gunungkidul. Mereka ditampung di asrama dan disekolahkan di SMP Bopkri. Dengan demikian, SMP Bopkri pun mendapat pasokan murid.

Saat pertemuan dengan anak-anak SD Bopkri, pada saat yang bersamaan di samping gedung SD sedang berlangsung reuni SMA Bopkri yang digelar di balai desa Wonosari. Ironisnya, SMA Bopkri sendiri sudah berhenti beroperasi lebih dari 6 tahun yang lalu.  Penyebabnya hampir sama yaitu karena sekolah tidak dikelola dengan baik.

***

Untuk mengakrabkan pertemuan, Hai Hai menyambar seruling saktinya dan memainkan lagu-lagu Natal. Kemudian muncul ide spontan untuk tebak lagu. Hai Hai memainkan lagu dengan serulingnya, anak-anak berebut menebak lagu. Jika jawaban benar, maka anak tersebut mendapat hadian piring, mangkok atau toples plastik. Anak-anakd ari Salatiga dan Wonosari adu pengetahuan soal lagu. Saat hadiah tinggal satu, ternyata ada dua anak yang menunjuk jari untuk menjawab. Satu anak dari Wonosari dan satu anak dari Salatiga. Untuk menentukan siapa yang berhak menjawab maka diadakan adu pingsut. Ternyata anak dari Salatiga yang menang. Dia pun menjawab dengan benar. Maka dia berhak mendapatkan hadiah. Setelah menerima hadiah, anak dari Salatiga ini lalu memberikan hadiahnya kepada anak dari Wonosari yang kalah pingsut. Betapa indahnya berbagi!

Usai bermain kuiz, para  Blosas memperkenalkan diri. Setelah itu giliran anak-anak memperkenalkan nama, kelas dan cita-cita mereka.  Sebagian besar dari mereka bercita-cita menjadi guru. Selain itu ada yang ingin menjadi Polisi,  Bidan, Security, Dokter hewan, Penyanyi, Pemain Sepak Bola, Perawat, Angkatan Laut, Pelukis dan Pengusaha. Ada satu anak yang membuat kami tergelak karena bercita-cita menjadi pengantin! (tentunya bukan istilah pengantin dalam versi teroris).

Usai bercengkerama, kami dijamu makan siang dengan menu khas Gunungkidul yaitu nasi merah, gideg daun pepaya, sayur lombok, trancam dan daging empal. Sembari makan siang, saya menyempatkan untuk menyalurkan buku-buku bacaan sumbangan dari penerbit Waskita dan toko buku Visi bagi perpustakaan SD Bopkri. Tak lupa dibagikan juga renungan Lentera Jiwa.

"Bacaan ini akan memperkaya pertumbuhan iman para guru sehingga kami akan melayani anak-anak dengan lebih baik. Terimakasih untuk bantuannya," kata ibu guru Deta. Selain itu, kami juga membagikan kaset VCD dari LPMI dan alkitab sumbangan dari pelanggan toko buku visi.

Photobucket

Guru SD sedang mencatat buku-buku yang disumbangkan untuk perpustakaan (foto Purnawan)

Setelah perut kenyang, maka kami pun berpamitan. Sebelum berpisah, para Blosas membagikan hadiah Natal kepada 14 anak-anak asuh di SD Bopkri Wonosari. Setelah itu rombongan dibagi menjadi dua. Rombongan pertama adalah anak-anak dari pondok Pidia Salatiga, pak Purnomo, mbak Iik, pak Atang, pak Yesaya dan pengasuh pondok Pidia. Saya mendapat tugas memandu mereka untuk berwisata ke pantai. Rombongan kedua terdiri dari Blosas. Pak Je Budi Cahyono memimpin mereka meluncur ke desa Planjan. Mereka akan mengunjungi anak-anak asrama SMP Bopkri, yang karena liburan Natal mereka kembali ke rumah orangtua mereka. Para blogger ini ingin melihat kondisi orangtua mereka.

***
Photobucket

Perahu nelayan (foto Purnawan)

Saya mengarahkan anak-anak ke pantai Ngandong, yang berlokasi di desa Sidoarjo, kecamatan Tepus. Pantai ini berpasir putih dengan garis pantai sepanjang sekitar 1 km. Ada sebuah teluk kecil di bagian timur sehingga anak-anak relatif lebih aman untuk bermain air. Jika ingin bersantap hidangan laut segar, pengunjung bisa memesan langsung di warung-warung sederhana karena di tempat ini juga menjadi tempat pendaratan sampan nelayan.
Photobucket

Perahu nelayan (foto Purnawan)

Menjelang senja, anak-anak diajak berpindah ke pantai Sundak yang hanya berjarak 200 meter dari pantai Ngandong. Setelah puas bermain air, anak-anak membersihkan diri di kamar-kamar mandi umum kemudian melanjutkan perjalanan ke Planjan. Kami bergabung dengan rombongan kedua, yaitu para blogger. Dengan diantar oleh pak Ngatimin, mereka berkunjung ke rumah anak-anak asrama.
Photobucket

Senja di pantai Sundak
Photobucket

(foto Christina)

Ini adalah rumah dari murid bernama Agung dan Laras. Berdiri paling kiri adalah ibu dari Agung yg baru pulang dari ladang. Sedangkan berdiri di tengah berkaos hitam  adalah Laras. Dia bercita-cita menjadi Dokter atau Pengusaha.Ibu Laras bekerja di Semarang sebagai Baby Sitter. Pria yang duduk di depan adalah  kakek Laras yang terkena Prostat namun sudah menjalani operasi.

Photobucket

(Foto Christina)

Ini adalah Joko Budi Santosa siswa kelas 7 SMP BOPKRI. Ayahnya baru saja meninggal karena kecelakaan lalulintas pada tanggal 12-12-2012. Ibunya membuka warung di rumah. Budi mempunyai satu kakak laki-laki yang saat ini dipanggil pulang (dari kerja di Warung di Semarang) untuk membantu rumah sepeninggal ayahnya.

Itu adalah sepenggal kisah tentang anak-anak asrama SMP Bopkri. Rata-rata orangtua mereka hidup subsisten alias pas-pasan. Jika tidak mendapat bantuan pendidikan, maka kemungkinan besar mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan. Padahal, sebagian dari mereka adalah anak yang cerdas. Ada yang nilai rapornya mencapai nilai 9 (dari skala 1-10).

Sayangnya, belum semua anak dikunjungi, matahari sudah tenggelam. Hari sudah gelap sehingga tidak memungkinkan untuk berkeliling lagi. Kami pun sejenak mampir di TK Sumber Rahayu. Sekolah ini dirikan secara swadaya oleh pak Ngatimin.

"TK ini adalah pemasok utama untuk murid-murid SD Bopkri di Sumber, Planjan," kata pak Ngatimin. Semua anak yang bersekolah di TK ini kemudian bersekolah di SD Bopkri. Itulah sebabnya TK ini berperan penting untuk menghidupi SD Bopkri di Planjan. Lulusan SD Bopkri di Planjan ini yang kemudian melanjutkan sekolah di SMP Bopkri Wonosari yang berjarak 25 km. Karena itu pak Ngatimin berharap ada pihak-pihak yang memiliki kepedulian untuk mendukung keberadaan TK ini.

Photobucket

TK Sumber Rahayu, Planjan (foto: Purnawan)

***

Pukul tujuh malam, kami berlabuh di rumah pak Ngatimin. Pisang rebus dan kacang tanah rebus yang sudah terhidang pun langsung diserbu tanpa basa-basi. Anak-anak dari Salatiga akan menumpang bermalam di rumah pak Ngatimin dengan tidur lesehan.
Photobucket

Menikmati kacang dan pisang rebus (foto: Purnawan)

Setelah urusan mencarikan tempat menginap bagi anak-anak sudah beres, maka urusan berikutnya adalah mencari penginapan untuk para blogger. Kami meluncur kegelapan malam yang sepi, menyusuri jalan di tepi pantai untuk mencari penginapan. Kami menuju pantai Kukup. Penginapan yang dituju pertama kali ternyata adalah penginapan 'krusek'. Kami lalu bergeser 300 meter ke arah Barat. Ada penginapan yang memadai, tapi masih belum pas di hati. Kami lalu mendaki bukit ke arah pantai Baron. Di dekat gerbang pemungutan tiket masuk kami menemukan penginapan yang cukup bagus.
Photobucket

Masalahnya hanya tersisa satu kamar. Bagaimana nih? "Ah itu dipikir belakangan. Yang penting kita pesan makan dulu," kata Joli. Sembari menunggu makanan dihidangkan, kami membicarakan kemungkinan tindak lanjut dari aksi sosial ini.  Ada beberapa usulan kegiatan yang sudah disiapkan namun belum bisa disharingkan di sini karena masih perlu dimatangkan lagi.

Usai makan, maka muncul ide cemerlang untuk menyiasati penginapan. Blogger cewek menempati kamar yang tersisa. Satu kamar diisi 5 cewek dengan ekstra bed. Lalu bagaimana dengan blogger cowok? Mereka diposisikan sebagai sopir. Mereka boleh tidur di rumah joglo, yang terbuka, tapi membayar Rp, 100 ribu/orang. Jumlah cowoknya ada 3 orang. Mereka dihitung sebagai sopir. Pegawai hotel hanya senyum-senyum sendiri melihat satu mobil punya 3 sopir!

Karena masih punya anak kecil, maka saya memutuskan untuk tidak ikut menginap. Malam itu juga saya langsung pulang dengan mengambil jalur Baron, Paliyan, Playen, Piyungan, Prambanan dan Klaten. Jalannya sangat mulus, tapi sepi, Sampai di rumah sudah tengah malam.

***

Oh iya barangkali pembaca bertanya-tanya dalam hati apa sih maksudnya NUNGKI dalam judul tulisan ini.  NUNGKI adalah singkatan dari GUNUNGKIDUL

 

__________________

------------

Communicating good news in good ways