Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mengasuh Anak adalah Pelayanan Terpenting

Ningtyas's picture

Sejak memutuskan pindah kerja ke daerah Grogol yang super macet, saya hampir kehilangan kebersamaan dengan anak-anak. Jarak tempat kerja yang semakin jauh, membuat saya harus meninggalkan anak-anak di rumah selama 14 jam sehari. Enam jam sehari saya harus membuang waktu untuk perjalanan pergi dan pulang dari kantor. Sesampainya di rumah, kelelahan fisik tidak memungkinkan saya memberikan kasih dan kehangatan yang memadai untuk anak-anak. Waktu yang tersisa sekitar 2 jam bersama anak-anak pun tidak sepenuhnya bisa kami isi dengan 120 menit kebersamaan. Seringkali fisik saya ada begitu dekat dengan anak- anak, namun pikiran saya masih ada di kantor, di depan komputer atau di buku yang baru saya beli. Tak jarang saya memangku anak-anak tetapi ujung jari saya ada di keypad HP dan hati saya entah ada di mana.

Jujur saja, ada perasaan bersalah yang terus bersarang di hati karena ketidakmampuan saya memberikan perhatian dan kasih sayang kepada si bungsu Mika, sebagaimana saya dulu memperlakukan si sulung Dika. Perasaan bersalah itu semakin besar seiring dengan semakin gencarnya protes Dika untuk menyuarakan kepentingan Mika yang selama ini nyaris saya abaikan.

Sebelum Mika masuk TK, saya bisa menebus sedikit kesalahan dengan sesering mungkin mengajak Mika pergi. Tak jarang saya membawa Mika ke kantor. Walaupun Mika harus meninggalkan rumah selama 14 jam, namun ia sangat menikmati kebersamaan dengan saya. Walaupun harus naik turun kendaraan umum, namun Mika cukup antusias selama dalam perjalanan.

Sayang sekali, sejak Mika masuk TK, saya tidak bisa lagi mengajaknya ke kantor. Hari pertama Mika masuk sekolah, saya sengaja off dari kantor supaya bisa mengantar dan menunggui Mika. Karena saya lihat Mika cukup mandiri, hari kedua dan seterusnya saya minta pengasuh untuk menggantikan tugas mengantar dan menjemput Mika. Karena Mika tidak pernah protes, saya tidak mengambil alih tugas pengasuh walaupun saya sedang off. Dengan semangat melayani Tuhan, saya sering memanfaatkan waktu off untuk melayani di gereja atau menyediakan waktu dan telinga untuk anak-anak Tuhan yang berbeban berat. Pelayanan itulah kata yang sangat saya banggakan untuk melegitimasi kesibukan saya.

Pengasuh Mika yang melihat betapa lelahnya saya sepulang dari kantor, selalu berusaha mendorong Mika untuk menyeselaikan PR dari sekolah sebelum saya tiba di rumah. Pendek kata, saya hanya terima jadi dan saya cukup puas karena Mika tidak mengalami masalah dalam belajar. Mika yang tumbuh sebagai anak yang manis, sopan, mudah diarahkan pun saya pandang sebagai proses alami dari seorang anak yang tahu diri dan menerima keadaan sebagai anak seorang janda.

Hari Sabtu minggu lalu, saya sengaja off dari kantor karena ada urusan di sekolah Dika. Rencana saya hanya satu, yaitu ke sekolah Dika. Tidak seperti biasanya, Sabtu itu saya bangun 1 jam lebih lambat dari biasanya. Melihat saya agak santai, Mika memberondong dengan beberapa pertanyaan Hari ini Ibu libur? Mau nggak Ibu nungguin Mika, sekali ini aja? Belum sempat saya menjawab, Mika terus bertanya Ibu sayang Mika, nggak? Ibu kepingin lihat Mika disayang bu guru, nggak? Ibu mau nggak ngeliatin Mika dari luar pagar sekolah terus-terusan sampai Mika selesai sekolah? Ibu seneng nggak kalau Mika pinter?

Pertanyaan-pertanyaan Mika yang terus mengalir serasa menohok ulu hati saya. Belum juga saya mampu mengendalikan perasaan bersalah, Dika berdiri di belakang Mika untuk memberikan dukungan layaknya demonstran yang sedang menuntut hak-haknya, "Iya Bu! Selama ini Ibu belum pernah menunggui adik sekolah, padahal dulu setiap Sabtu Ibu nungguin Dika sekolah, dari TK kecil sampai kelas 2! Kasihan Bu, adik kan juga manusia!" kata Dika semakin menyudutkan saya.

Tidak ada jawaban lain yang lebih bijaksana selain mengiyakan permintaan 2 demonstran kecil itu. Jadilah pagi itu saya mengantar dan menunggui Mika sekolah terlebih dulu sebelum pergi ke sekolah Dika.

Sejak masuk ke mobil jemputan Mika sangat riang. Saat mobil berhenti di depan rumah teman sejemputannya, Mika berteriak, "Giovani ... Mika seneng dech, hari ini ibunya Mika mau nungguin Mika di sekolah! Mama Giovani, mau lihat ibunya Mika nggak? Ibunya Mika baik loh!"

Ketika mobil menjemput teman yang lain, Mika berteriak kembali, "Arnold, hari ini Mika asyik dech! Ibu Mika kan sayang sama Mika! Mama Arnold, hari ini Mika disayang sama Ibu!" Seolah tak ada bosannya, Mika memamerkan kebahagiaannya kepada setiap temannya. Bahkan sesampainya di sekolah, Mika bilang kepada guru-guru kalau hari itu saya mengantarnya.

Sepintas, keceriaan Mika menampakkan bahwa ia adalah anak periang dengan tangki cinta yang penuh. Namun, ekspresi Mika yang berlebihan hari itu sesungguhnya mengisyaratkan bahwa ada keinginan Mika yang sudah lama terpendam, yaitu ingin seperti anak-anak lainnya yang diantar dan ditunggui ibunya. Sayangnya, selama ini saya kurang memperhatikan keinginan Mika, sementara ia terlatih untuk tahu diri dan menahan keinginan tersebut. Walaupun ekspresi Mika membuat saya malu, tetapi tatapan Mika yang polos dan terkesan innocent meyakinkan saya bahwa ia tidak sedang mempermalukan saya. Sebaliknya, Mika menyadarkan saya untuk introspeksi diri. Seolah sedang bercermin, saya tidak boleh memecah cermin yang menyodorkan bayangan wajah yang buruk. Saya harus menyadari dan mengakui bahwa selama ini saya belum bisa menjadi ibu yang baik.

Melihat keceriaan Mika yang melebihi hari-hari sebelumnya, seorang ibu berkomentar Hari ini Mika kelihatan sumringah karena ditunggui ibunya! Ibu-ibu disini suka menyanjung Mika karena dia baik, ramah dan suka menolong temannya. "Tapi kayaknya dia lebih senang kalau ibunya sendiri tahu kalau Mika itu anak hebat," kata orang tua murid yang lain. Sementara orang tua yang lain berkata, "Biasanya Mika kelihatan dewasa! Tapi, yang namanya anak-anak, tetap saja sesekali masih kepingin dimanja ibunya."

Mendengar komentar dari para orang tua murid, saya semakin sadar bahwa Mika tetaplah anak-anak. Walaupun ia berusaha menjadi anak yang tahu diri dan mengerti kesulitan ibunya sebagai orang tua tunggal, tetapi Mika tetap membutuhkan sentuhan dan kasih sayang selayaknya anak-anak lain yang memiliki orang tua lengkap. Merasa telah melakukan pengabaian, sepulang dari sekolah Mika, saya bertekat untuk tidak melakukan pekerjaan lain, kecuali menemani Mika makan, belajar dan bermain. Sorenya, saya sengaja memangku Mika sambil mengelus rambut halusnya yang sengaja saya potong cepak ala tentara. "Bu, kita bincang-bincang yuk!" ajak Mika sore itu. Mika memang sering mengucapkan kata-kata yang sok tua itu untuk memancing supaya saya tertawa.

Cukup lama saya dan Mika mendiskusikan acara TV, ngobrol tentang teman-teman TK Mika dan bicara dari hati ke hati, terutama tentang perasaan Mika selama ini. Melihat saya tidak melakukan pekerjaan yang lain, Dika bertanya, "Hari ini ibu kok cuma peluk-peluk adik terus? Memangnya Ibu tidak mengisi acara pembinaan pemuda di gereja? Tumben nich, nggak pelayanan?!"

Dengan santai saya menjawab, "Menyediakan waktu untuk memeluk dan mencium anak sendiri, itu juga termasuk pelayanan!"

"Apa hubungannya?" Dika mempertanyakan.

"Pelukan dan ciuman yang hangat dan penuh kasih merupakan bahasa kasih. Ibu harus melakukan ini supaya adik bisa merasakan kasih dan bisa mengasihi orang lain. Kalau ibu tidak pernah memeluk atau mencium adik Mika, maka ia tidak bisa merasakan kasih. Kalau adik tidak pernah merasakan kasih, bagaimana ia mengenal kasih? Kalau adik tidak pernah merasakan dan mengenal kasih dengan baik, mana mungkin dia bisa mengasihi orang lain?!" saya berusaha mengartikulasikan kesadaran yang baru muncul itu.

Minggu paginya, seperti biasa Mika bangun dari tidur langsung minta bantuan pengasuhnya untuk menyiapkan sarapan dan air hangat untuk mandi. Seperti biasanya juga, Mika bertanya, "Hari ini Ibu pergi ke gerejanya orang lain, atau ke gerejanya Mika?"

"Ke gerejanya Mika!" jawab saya singkat.

"Asyik! Berarti Ibu anterin Mika sekolah Minggu ya?" tanya Mika seakan menagih janji saya untuk mengantar ke sekolah Minggu bila sedang tidak ada pelayanan di gereja lain.

Walaupun pagi itu Mika hanya minta diantar sampai di halaman gereja, tetapi saya tetap mengikuti Mika dari belakang. Hari itu saya memang berniat untuk mengobservasi Mika dari balik kaca. Seorang teman yang melihat saya duduk di depan kelas Mika tiba-tiba berseloroh, "Kok Cuma duduk-duduk di sini, memangnya nggak ada pelayanan?"

Sembari bercanda, sayapun menjawab, "Loh, duduk-duduk di sini sambil mengamati tingkah polah anak di sekolah Minggu, itu juga termasuk pelayanan! Buat apa saya sibuk pelayanan di sana-sini, kalau kelakukan anak sendiri saja saya nggak tahu?!"

Seperti biasa, hari Senin kantor off sehingga saya bisa bangun agak siang. Namun tidak seperti biasanya karena pagi itu Mika minta saya kembali mengantar dan menungguinya di sekolah. Jujur saja, sebenarnya menunggui anak sekolah adalah kegiatan paling menyebalkan bagi saya. Tanpa bermaksud merendahkan ibu-ibu orang tua murid di sekolah Mika, namun kebiasaan mereka yang kongkow-kongkow sembari ngerumpi, membuat saya serba salah dan tidak betah berlama-lama di sana. Kalau saya tidak ikut ngobrol terkesan angkuh, tapi kalau mau ikut ngobrol kelihatan pura-pura atau hanya basa-basi. Terlebih lagi topik yang mereka bahas seperti arisan panci, kredit pakaian atau perhiasan, gossip artis, atau ngegosipin suami sendiri ataupun suami tetangga, sangat tidak nyambung dengan otak saya.

Untuk mengisi waktu yang kosong, saya pun mendatangi ruang kepala TK. Kebetulan saya cukup akrab dengannya sejak tahun 1996 waktu Dika masih TK kecil. Saya cukup terbelalak mendengar kesan kepala TK tentang sikap Mika. Menurutnya, Mika cukup matang dan mandiri untuk ukuran anak-anak seumuranya. Selain itu, saya mendapat kabar kalau Mika termasuk anak yang ceria dan berusaha menyenangkan orang lain.

Saya lebih terbelalak lagi ketika guru wali kelas Mika memberitahukan bahwa sejak awal masuk sekolah, Mika selalu menyelesaikan tugas dengan baik, cepat dan antusias. Tanpa diminta, Mika sering membantu ibu guru menolong teman-temannya yang belum bisa menulis angka dan huruf. Bila ada temannya yang menangis Mika berusaha membujuk dan menghibur. Begitu juga ketika ada temannya yang berkelahi, Mika berusaha melerai dan melaporkannya kepada guru. Namun sayangnya, sikapnya yang kalem dan tidak suka membalas teman yang usil padanya, membuat Mika sering menjadi bulan-bulanan. Walau pipinya yang mirip bakpau sering memerah kena cubitan teman, Mika tidak mau membalasnya.

Sejenak saya bangga memiliki Mika yang begitu baik dan menyenangkan orang-orang di sekitarnya. Namun di lubuk hati saya yang terdalam tersimpan rasa malu, karena saya bukanlah orang pertama yang tahu perkembangan Mika yang cukup pesat. Semakin banyak kebaikan yang ditunjukkan Mika, rasa malu saya pun semakin besar karena sejujurnya, kemajuan yang dicapai Mika bukanlah hasil kerja saya. Itu semua adalah anugerah Tuhan lewat Dika, pengasuh, guru TK dan guru les Mika.

Sesampainya di rumah, saya bertanya kepada Mika kata teman-teman, "Mika suka dicubit Jesi? Terus Mika suka membalas, nggak?"

"Enggak! Kan nggak boleh sama Mas Dika," Mika menjelaskan sikapnya.

"Memangnya Mas Dika bilang apa?" tanya saya penasaran.

"Kata Mas Dika, kalau ada teman yang usil, langsung ditinggal pergi saja!" jawab Mika.

"Kalau adik Mika berasa sakit, bagaimana?" tanya saya ingin tahu.

"Kata Mas Dika, Mika harus bilang ke teman yang usil 'Terima kasih kawan, kau menyakitiku! Aku mengampunimu, tapi kamu jangan ganggu aku lagi'," Mika mengulang kata-kata yang diajarkan oleh kakaknya.

"Kalau temannya masih mengganggu Mika bagaimana?" tanya saya lagi.

"Mika bilang saja, 'Aku tidak mau melihatmu!'" kata Mika dengan nada keras.

"Loh, kok kata-katanya jadi keras?!" saya masih ingin tahu alasan Mika.

"Habis, kata-kata yang diajarin Mas Dika suka nggak mempan! Ya, udah Mika ngarang sendiri saja!"

Saat Dika kembali dari sekolah, saya sangat kaget melihat Mika yang cepat-cepat pergi ke dapur untuk membuat segelas sirup dingin untuk Dika. Lebih kaget lagi ketika saya melihat Mika juga membuat secangkir kopi susu untuk saya dan sebotol susu untuk dirinya sendiri. Perasaan bersalah dalam diri saya semakin besar karena selama ini saya tidak tahu kalau tangan kidal Mika ternyata cukup lincah membuat minuman untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang lain. Saya menyesal karena ketidaktahuan ini membuat saya tidak memberikan apresiasi atas kemajuan yang dicapai Mika. Walau terlambat, saya berusaha mengekspresikan perasaan bangga terhadap Mika. "Wauw, Ibu senang Mika sudah bisa bikin minum sendiri. Ibu juga senang karena Mika mau membuat minum untuk ibu dan Mas Dika. Ibu bangga karena Mika sangat istimewa!" kata saya sambil mencium pipi tembemnya.

Saat Mika tidur siang, saya bertanya kepada Dika, "Memangnya apa yang diajarkan Mas Dika kepada adik Mika, kok dia nggak mau membalas temannya yang usil?"

"Yaila ... masak ibu nggak tahu sih? Kata Ibu, LK3 suka mengajari orang memaafkan orang lain yang melukai?! Seharusnya Ibu yang ngajarin adik memaafkan teman, tapi karena Ibu sibuk pelayanan melulu, ya udah Dika saja yang ngajarin sebisanya!"

Saya cukup beruntung, saat saya lalai mengajarkan sesuatu kepada Mika, ada Dika yang mengisi. Untung saja saat-saat kosong itu belum dimasuki orang yang membawa pengaruh buruk. Saya sangat bersyukur Tuhan menjaga Mika dan DIA mengingatkan saya sebelum Mika masuk ke lingkungan yang lebih luas. Sejak saat itu saya komit untuk memberikan seluruh malam khusus untuk anak-anak. Kalaupun saya harus mencuri-curi waktu untuk menulis atau membuka email, saya hanya akan mengambil sisa-sisa waktu setelah anak-anak tidur."

Melihat saya jarang membuka computer, Dika pun bertanya, "Sudah beberapa hari ini Dika lihat Ibu tidak menyentuh computer? Memangnya nggak suka pelayanan lagi?"

"Memperhatikan dan mengasuh anak dengan sepenuh hati itu justru merupakan pelayanan terpenting!" jawab saya.

"Loh, dulu Ibu bilang kalau pelayanan yang terpenting itu untuk Tuhan! Kenapa sekarang Ibu bilang bahwa pelayanan yang terpenting itu memperhatikan dan mengasuh anak?" Dika meminta penjelasan.

"Kalau Ibu mengasuh anak dengan baik, berarti Ibu sedang melakukan pekerjaan Tuhan untuk menyiapkan generasi Kristen yang tangguh. Ini pekerjaan yang sangat penting karena anak-anak adalah pewaris kerajaan surga. Kalau Ibu tidak bisa mengasuh anak sendiri dengan baik, mana mungkin ibu bisa mengajarkan orang lain untuk mengasuh anak dengan baik? Kalau satu, dua, tiga dan akhirnya semakin lama semakin banyak orang tua Kristen yang tidak mengasuh anak dengan baik, lama-lama menghasilkan gerenasi yang amburadul yang mempermalukan Tuhan Yesus!" jawab saya diplomatis.

"Ha, ha, ha ... rupanya Ibu sudah bertobat!" teriak Dika dengan nada bercanda.

Sambil menyembunyikan wajah yang memerah karena malu, saya mencoba mengingat kembali etos kerja professional yang diajarkan oleh Jansen Sinamo. Dengan iseng sayapun mencoba mengadopsi etos kerja professional itu dalam tugas mengasuh anak. Kalau pekerjaan kantor saja harus dilakukan secara professional, maka mengasuh anak untuk menyiapkan generasi Kristen yang tangguh, seharusnya dilakukan dengan lebih prtofessional lagi kata saya dalam hati.

Sejak saat itu saya bertekad untuk menjadi orang tua dengan etos professional. Sejenak pikiran saya melayang dan otak sayapun menuliskan tekad sbb.:

  • Anak adalah rahmat, aku harus mengasuhnya dengan tulus dan penuh syukur.
  • Anak adalah amanah, aku harus mengasuhnya dengan benar dan penuh tanggung jawab.
  • Menjadi orang tua adalah panggilan Tuhan, aku harus mengasuh anak dengan penuh integritas.
  • Menjadi orang tua adalah aktualisasi diri, aku harus mengasuh anak dengan penuh semangat.
  • Mengasuh anak adalah ibadah, aku harus melakukannya dengan serius dan penuh kecintaan.
  • Mengasuh anak adalah seni, aku harus melakukannya dengan kreatif dan penuh suka cita.
  • Menjadi orang tua adalah kehormatan, aku harus mengasuh anak dengan tekun, penuh keunggulan
  • Mengasuh anak adalah pelayanan terpenting, aku harus melakukannya dengan sempurna, penuh kerendahan hati, demi kemuliaan nama Tuhan.
xaris's picture

Mbak Ning disini juga...

Dear Mbak Ning,

Kira-kira 3/4 tahun yang lalu saya seorang teman mengirimkan kisah seorang istri yang ditinggalkan suaminya lewat email. Saya sangat terberkati dengan kisah itu dan sempat beberapa saat berusaha keras mencari-cari siapa penulisnya. Baru beberapa tahun kemudian saya tahu Mbak Ning-lah penulisnya. Dan ternyata Mbak Ning ada di Sabda juga.

Saya sangat berterima kasih pada Tuhan untuk tulisan Mbak Ning, kadang masih teringat apa yang terjadi di hari dimana saya membacanya. Lewat tulisan itu Tuhan menguatkan saya dengan luar biasa, memampukan saya melewati hari-hari yang sulit. Mbak Ning, semoga Mbak Ning semakin terbang tinggi dalam pimpinan Tuhan, dimampukan untuk terus memuliakan dan menikmati Dia, si pemilik jiwamu yang sejati.

((HUGS)) - xaris

hai hai's picture

Mbak Ning Pasti Sabda

Xaris, nggak heran mbak ning ada di sabda, wong namanya saja: Mundhi Sabda Hardi Lesminingtyas. Mbak Ning? Ya Sabda-lah.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Liesiana's picture

Ibu yang bekerja

Suatu tantangan yang besar bagi ibu yang bekerja, bagaimana mendidik anak dan dan bekerja dengan profesional. Apakah keduanya bisa berjalan dengan seimbang, belum lagi hal suami dan teman-teman, cukup membuat ibu-ibu super sibuk, tapi hidup harus berjalan terus. Tuhan beri kami para ibu kekuatan dan kemampuan yang dari Engkau saja untuk dapat hidup sesuai dengan rencanaMu.