Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

THE WAR OF THE WARoengS - bag.2

Purnomo's picture
Dalam mengelola warung, “ketulusan merpati” saja tidak cukup. Kita harus juga memiliki “kecerdikan ular” (Matius 10:16) dalam mendapatkan barang murah tapi tidak kadaluwarsa; mengelola persediaan barang dengan modal kecil; menentukan laba dalam ketatnya persaingan; mengefisiensikan ruang warung yang sempit; melakukan promosi kecil berdampak besar. Dari berbagai pengetahuan ini, manakah yang paling penting? Anda pasti setuju bila saya mengedepankan ketrampilan menentukan laba. Bukankah kepandaian ini yang membuat sebuah warung berjaya?
 
Tapi saya kurang setuju karena tiba-tiba saja teringat saat George Soros menguji ketahanan sistim ekonomi Asia. Kata teman-teman saya yang Tapanuli, di Medan ia berganti nama menjadi Krismon Hutabarat – krisis moneter hutang tambah berat. Banyak pedagang kecil yang bangkrut. Juga warung yang sebelumnya berjaya. Kata “mengapa” dalam perusahaan tempat saya bekerja sudah menjadi “kredo harian”. Bahkan bila angka penjualan naik, kami bisa mendapat nilai prestasi “C minus” bila tidak tahu “mengapa”nya. Karena itu kami menyelidiki mengapa warung-warung yang berjaya itu bisa ambruk dilibas si Krismon.

 

Ternyata banyak dari mereka punya satu kesamaan, yaitu mereka menyatukan keuangan warung dengan keuangan rumah tangganya. Mereka makan barang yang ada di warungnya. Mereka mengambil uang dari kas warung untuk belanja sehari-hari dan membayar SPP anaknya. Mereka melihat di warung selalu ada uang dan barang tanpa menyadari bisnis warungnya sedang sepi. Mereka memang merasakan warungnya sepi, tetapi tidak tahu seberapa sepi. Mereka baru sadar ketika tidak bisa mengisi warungnya dengan barang sebanyak dulu karena uang untuk kulakan (membeli barang untuk dijual kembali) selalu kurang. Akibatnya, ragam dan jumlah barang berkurang. Mereka bangkrut tanpa kehilangan pelanggan.

 

Uang warung terpisah dari uang rumah.

“Geografis” warung yang menyatu dengan tempat tinggal pemiliknya bisa menjadi sumber masalah. Banyak yang berpendapat bahwa uang atau barang yang ada dalam warung bisa dipergunakan untuk keperluan rumah tangga. Ibu memanggil tukang sayur keliling, belanja, lalu mengambil uang 10 ribu dari kotak kas warung. Bapak ingin merokok, ia ambil sebungkus rokok dari lemari warungnya. Mengapa tidak boleh? Yang ada di warung itu kan milik Bapak dan Ibu? Si Anak sebelum berangkat ke sekolah mengutil 2 keping coklat batangan. Daripada minta uang jajan kena marah, lebih baik mencuri barang milik sendiri. Esok hari ketika Bapak mau ke grosir untuk beli barang, kotak kas warung hanya berisi uang 95 ribu rupiah. Padahal ia perlu uang 125 ribu rupiah sesuai dengan jumlah barang yang sudah laku. Ibu tidak bersedia menutup kekurangannya. Ia kuatir rekening listrik yang belum dibayar lebih tinggi daripada bulan yang lalu. Gampang ditebak akhir cerita ini. Perlahan jumlah barang yang ada di warung menyusut dan akhirnya habis di“black debt“ oleh “para pejabat dalam negeri”.

Kumpulkanlah seluruh anggota keluarga. Yakinkan mereka bahwa menyentuh uang warung bisa membuat warung stroke. Serahkan kepada Ibu di awal bulan uang belanjanya untuk sebulan. Jika ia nanti mengambil beras dari warung, ia harus membayar. Boleh pinjam uang untuk beli sayur, tetapi sebelum matahari terbenam harus sudah dilunasi. Bila mertua datang bertamu mengambil soft drink dan roti dari warung, suruh dia bayar. Kalau mau yang gratis, ambil air putih dan krupuk yang ada di dapur. Dibilang kejam, silakan. Tetapi inilah sisi gelapnya sebuah disiplin. Di mana pun juga.

Bukankah dalam gereja hal yang sama juga terjadi bila penatua takut dituduh kejam dalam memberlakukan kedisiplinan? Jemaat memakai inventaris gereja seperti miliknya sendiri. Ketika gereja kena stroke, hidup tanpa gerak, kita bertanya kepada Tuhan: ”Ya Allah, mengapa pencobaan ini Kau berikan kepada gereja kami?” Sudah pertanyaannya salah, salah alamat pula! Harusnya pertanyaannya adalah “Mengapa engkau mencobai kesabaran Allah Tuhanmu?” dan ditujukan kepada koster yang menjual air ledeng gereja kepada pedagang keliling air bersih; kepada aktivis pemuda yang tidak mengembalikan gitar milik gereja yang dipinjamnya; kepada para bendahara yang memutar uang gereja di bursa valas; kepada yang memanfaatkan halaman belakang gereja untuk menimbun dagangan pasir batunya; kepada pengurus kantin atau toko buku yang tak pernah menyetor keuntungannya kepada gereja; kepada yang mengomprengkan mobil gereja ketika ditugasi melakukan kegiatan pelayanan ke luar kota (Nehemia 13:4-12). Tapi itu duluuuuu, ketika penatua lebih mengutamakan kasih dalam mengelola harta gereja. Maksud saya kasih yang permisif (serba membolehkan), agar dikenal sebagai penatua yang baik hati, agar tidak diancam jemaatnya, dan bisa ikut-ikutan berbuat salah dengan tenang. Kalau sekarang, penatua galak abis dalam menjaga harta gerejanya. Iya, kan? Aduh tante, not smile-smile like that-lah. Saya jadi risih lo.

Untuk mengawasi pelaksanaan peraturan ini, begitu pembeli meninggalkan warung Anda, catat apa yang telah ia beli. Selama warung Anda belum beromzet di atas 750 ribu rupiah sehari, pasti masih ada waktu untuk mencatatnya secara manual di buku tulis. Setelah warung tutup, cocokkan catatan itu dengan uang yang ada di kotak kas. Pisahkan uang hasil labanya. Lalu sisihkan dari laba uang belanja rumah tangga untuk 1 hari. Bukan untuk diserahkan kepada Ibu, tetapi untuk ditabung yang pada akhir bulan diserahkan kepada “yang berwajib” sebagai uang belanja bulan berikutnya.

Dari catatan itu, Anda tahu jumlah barang yang harus dibeli di grosir. Bila laba setelah dikurangi tabungan uang belanja masih ada sisanya, tabunglah sisa itu untuk disatukan dengan laba esok hari. Siapa tahu laba esok hari tidak cukup untuk tabungan uang belanja rumah tangga 1 hari.

 

Uang belanja rumah tangga ditentukan oleh laba warung.

Bila pada akhir bulan tabungan uang belanja rumah tangga belum mencapai target, ada 2 pilihan. Menambahinya dengan uang kas warung yang berarti mengurangi persediaan barang, atau merampingkan anggaran rumah tangga dengan menghapus satu dua mata anggaran. Jika sebelumnya anak ke sekolah naik angkutan umum, sekarang harus jalan kaki. Mengapa anak yang saya pilih sebagai contoh? Karena biasanya kita paling tidak bisa mengurangi fasilitas untuk anak. Kasihan, tidak tega, masih imut-imut kok sudah harus ikut menderita.

Seorang pemilik warung eceran di Banda Aceh yang selamat dari badai krismon bercerita kepada saya. “Anak saya yang biasa naik angkot, menangis ketika saya suruh jalan kaki ke sekolah. Malu sama teman, katanya. Saya marah sekali. Saya berteriak kepadanya. ‘Kamu lihat tauke-tauke Cina di kota ini yang kayanya seribu kali daripada bapakmu? Mereka panggil pulang anak-anaknya yang sekolah di luar negeri untuk bersekolah di Banda atau di Medan. Anak-anak mereka jauh lebih malu daripada kamu. Tetapi mereka menurut karena mau membantu bapaknya.’ Malam hari waktu ia mau tidur, saya urut-urut kakinya. Saya sedih melihat penderitaannya. Saya ingin sekali mencabut perintah saya. Tetapi mau bagaimana lagi? Pelan-pelan ia saya beri pengertian. Untung ia mau mengerti. Sekarang? Dia ikut senang. Ia bisa ke sekolah naik sepeda.”

Sebaliknya bila laba sebulan setelah dipotong jatah belanja bulanan masih bersisa, jangan tergoda untuk menaikkan anggaran rumah tangga. Simpanlah kelebihan itu untuk berjaga-jaga apabila laba bulan berikutnya berkurang.

 

Memanfaatkan sisa hasil usaha.

Suatu ketika ayah saya bercerita. “Kamu tahu mengapa pedagang Cina totok cepat kaya? Ketika hari ini ia dapat untung 10 ribu rupiah, 8 ribu ia tambahkan ke modal, 2 ribu ia makan. Ia beli beras seperempat kilo dan sedikit garam untuk membuat bubur. Untuk lauknya ia beli tulang besar, diikat dengan kawat, dicelupkan ke dalam bubur yang mendidih itu. Waktu bubur dipindah ke mangkok, tulang itu ditarik ke atas digantung di dapur. Esok hari jika ia untung lagi 10 ribu rupiah, 8 ribu ia tambahkan ke modal. Karena tidak perlu lagi beli tulang, uang jatah tulang ia belikan bumbu masak. Kalau esok harinya lagi ia untung 15 ribu rupiah, yang 12 ribu ia tambahkan ke modal, yang 2 ribu untuk belanja rutin dan yang 1 ribu ia belikan lemak babi untuk dimasukkan ke dalam bubur.”

Saya pergi sebelum ceritanya selesai karena perut saya mual ingin muntah. Waktu masih di SMA setiap pulang sekolah saya mampir ke sebuah warung milik seorang famili ayah saya. Saya mengambil sabun mandi, sabun colek, gula pasir, minyak goreng dan sebagainya untuk saya jual kembali di rumah. Biar untungnya tidak banyak, yang penting saya mulai belajar berdagang. Lagipula saya tidak akan merugi karena barang itu saya ambil dengan kondisi titip-jual (konsinyasi) sehingga hanya yang laku saja yang saya bayar. Suatu hari papa pemilik warung ini, yang Cina totok, menyuruh saya menemaninya makan siang. Menu pertamanya belum pernah saya temui seumur hidup. Bubur kacang hijau yang kental pekat karena dicampur lemak babi. Satu sendok saya telan. Macet di tenggorokan. Saya mau muntah. Melihat matanya mendelik dan takut tidak diberi fasilitas konsinyasi lagi, saya terpaksa mendorong dengan air teh. Ia menawari saya arak. Saya menolak. Tidak lucu seorang berbaju seragam SMA berjalan pulang ke rumah siang hari dengan sempoyongan sambil bawa barang dagangan. Pasti dikira polisi maling pulang kesiangan.

Perut saya penuh karena harus menelan bubur bergantian dengan air teh. Hidangan ke-2 nasi, ikan goreng, cap jai dan sup teripang. Walaupun itu masakan mewah bagi saya, saya tidak berani menyantapnya. Menahan tidak memuntahkan kacang ijo dalam perut ke meja makan saja sudah membuat saya mandi keringat. Saya membohonginya bahwa saya sudah jajan sejam yang lalu. Kisah aniaya ini sesampai di rumah saya ceritakan kepada ayah. Ayah saya tertawa. Saya tidak percaya kebenaran cerita ayah. Tetapi filosofinya mengendap dalam otak saya.

Apabila setelah 3 bulan laba terkumpul setelah dikurangi jatah belanja rumah tangga selalu masih ada sisa, ada 3 pilihan untuk memanfaatkannya. [1] Investasi ditambah, uang belanja tetap. [2] Investasi ditambah, uang belanja ditambah. [3] Investasi tetap, uang belanja ditambah.

Paling baik mengambil pilihan pertama. Jika selama ini kita hanya menyediakan sabun mandi merek A dan B saja, sekarang masukkan merek C. Stoknya tidak perlu banyak, cukup 3 potong saja. Jika selama ini Anda tidak pernah menyediakan alat tulis, sekarang cobalah menyediakan setengah lusin ballpoint yang bisa dijual seribu rupiah sebatang. Juga mulailah menyediakan air mineral cup satu dos isi 48. Tapi, agar Ibu di rumah tidak memasang wajah gelap, yang bisa mengurangi keceriaan wajah Anda menghadapi pelanggan, ambil-alihlah rekening listrik. Pembukuan (=dicatat) warung mulai membuka lajur pengeluaran untuk biaya rumah tangga rutin yang dapat diperkirakan jumlahnya (dalam hal ini rekening listrik). Kelak kita ambil juga SPP anak bila dengan bertambahnya jenis barang dan merek, omzet harian bertambah sehingga laba bertambah juga. Inilah aplikasi filosofi “menggantung tulang di dapur”. Bersakit-sakit dulu agar kelak bisa menikmati kesenangan dengan hati tenang. Ketenangan membuat wajah bersinar. Wajah bersinar mengundang lebih banyak orang datang masuk ke warung.

 

Berapa modal yang dibutuhkan?

Jika Anda seorang guru SD Kristen yang bergaji kecil dan ingin menambah penghasilan; atau seorang pelajar yang ingin membantu income ortu; atau sekedar merasakan betapa susahnya mencari uang; please remember this advice. Jangan sekali-sekali memanfaatkan kartu kredit untuk modal membuka warung. Pusing dan hidup Anda tak tenang. Setelah warung Anda buka, believe me, tidak sedikit salesman yang akan menawarkan barang secara kredit (bukan titip jual). Jangan menerima tawaran ini. Karena pada saat jatuh tempo, barang itu habis ataupun tidak, kredit harus dilunasi. Anda terpaksa menambah modal dalam bentuk persediaan barang yang kurang laku.

Belajarlah dengan modal kecil dulu, Rp.75.000 cukuplah. Jualan apa dengan modal sekecil ini? Mi instan, telur dan permen. Mi itu tahan lama sehingga tak perlu berkuatir bila 1 hari hanya laku 1 bungkus. Sebaliknya, telur itu cepat rusak. Di sini kita belajar sebuah ketrampilan yang dalam bahasa kerennya disebut stock management, yang berpendapat stok barang tidak boleh terparkir lama karena itu berarti uang berhenti bertumbuh. Beli 1 kilo dulu dan jual per butir. Permen, jual tanpa untung agar lebih murah dari warung lain untuk menarik anak-anak yang disuruh ibunya belanja berbelok ke “warung mini” Anda. Bahkan dengan barang-barang itu Anda yang sekolah siang bisa sekalian menawarkan sarapan-cepat-saji (mi rebus telur, misalnya) bagi mereka yang akan berangkat kerja atau sekolah pagi dan kebetulan sarapan mereka di rumah belum sempat disiapkan.

Tetapi hati-hati, 3 item ini juga favorit orang rumah. Di sinilah kita belajar disiplin keuangan terpisah. Adik selalu melirik stoples permen sambil menduga-duga kapan Anda lengah. Tengah malam Ayah mengambil mi tanpa permisi. Pagi hari Ibu menyambar 4 butir telur. Suruh mereka bayar walau Anda ikut makan telur dadarnya. Aduh, sadis ya? Sekali lagi, itulah sisi yang menyakitkan dari disiplin pengelolaan keuangan.

Selamat berwiraswasta. Jangan lupa, bila sukses bagilah kisah dan kiatnya kepada yang lain. “Bukankah berbagi ilmu sama dengan menciptakan pesaing?” mungkin begitu pendapat Anda. Jangan kuatir. Biar sepuluh orang punya ilmu yang sama dengan kita, senyum kita beda dengan mereka. Senyum orang yang punya kasih Allah Bapa lebih tulus sehingga lebih memikat. Percayalah.

(selesai bagian ke-2)

Bagian ke-1 klik di sini.

Bagian ke-3 klik di sini.

Anak El-Shadday's picture

Busyett....

kira2 ni yang nulis cina totok bukan ya? hehehe.. tapi emang bener yang masalah bubur tu, dulu aku ga percaya, tapi ketika tau (teman mbakku kayak gitu) aku cuman geleng kepala.. gimana Tuhan ga bikin kaya?? Tuhan liat cara hidupnya aja "gilo" :P but the one who endure to the end, he shall be saved.....
__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

hai hai's picture

Purnomo Jelas Bukan Ngko Nole

anak El-Shadday, Purnomo jelas bukan Ngko nole, istilah anda cina totok. anda tahu, saya tidak suka di sebut cina namun suka di sebut Tionghua? Karena bagi saya Tionghua mengingatkan pada Tiongkok tempat asal sebuah suku bangsa yang menganut faham, "Di empat penjuru lautan kita adalah saudara", sedangkan CINA mengingatkan saya pada sebuah negara yang menganut faham komunis dan saya bukan warga negaranya.

Mas Purnomo, ketika membaca tulisan anda yang ini, saya kok melihat ada sebuah puzzle yang mulai tersusun ya? Saya yakin ada hubungan istimewa di antara kalian. Baiklah kita lupakan hal itu dulu, hingga saatnya semua keping terangkai.  

Mas Purnomo, ini INSIDE story, yang selama ini tidak pernah diceritakan kepada orang-orang luar karena akan membuat orang ngakak, namun itulah kenyataannya.

Kenapa orang Tionghua cepat kaya apalagi mereka yang membuka toko? Banyak jawaban dan analisa telah diajukan, namun jawabannya adalah ini:

Karena mereka terlalu SIBUK bekerja! Saking sibuknya mereka sampai tidak SEMPAT untuk membelanjakan uangnya apalagi bersenang-senang. Bahkan untuk makan saja mereka sering tidak sempat.

Anda tahu kenapa umumnya orang Tionghua lebih suka membuka usaha sendiri dari pada bekeja kepda orang lain? Karena sejak kecil umumnya mereka diajarkan bahwa BEKERJA tidak akan membuat seseorang MENONJOLKAN kepalanya (bangga), ketika seorang pekerja MENONGOLKAN kepalanya maka dia menjadi tanah. Filosofinya begini:

Gong

Tersebut di atas adalah uruf untuk KERJA atau BEKERJA sedangkan huruf di bahwa ini artinya TANAH.

Tu 

Itulah makna ketika seorang pekerja MENONGOLKAN kepalanya, dia mati! ITulah sebabnya kenapa banyak orang Tionghua memilih jadi wiraswasta daripada karyawan.  

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak