Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Aku Memancing

anakpatirsa's picture

        Aku pergi memancing.

        Gara-gara setiap sore kulihat tongkat pancing berseliweran sepanjang jalanan kota.

        Aku pergi ke toko alat pancing. Kubeli yang sangat praktis. Tidak perlu kupamerkan tongkat sepanjang lima meter, aku hanya perlu membuat ujungnya menyembul dari dalam tas.

        Pancingku seperti antena radio. Kupanjangkan, jadi tiga meter; kupendekkan, muat di dalam tas. Jumlah ruasnya lima, sesuai aturan tangkai pancing yang kupelajari waktu kecil. "Ukurlah bambu tangkai pancing dengan menghitung jumlah ruasnya, harus ganjil." Hanya satu aturan kampung yang kulanggar, "Pantang menawar harga kail dan tali nilon."

        Awalnya aku tertarik dengan pancing dari fiberglass yang ringan namun begitu kuat. Aku segera menjauh begitu melihat label harganya, angka satu yang diikuti enam nol. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayannya. "Cari yang masuk akal saja," kataku. Ia tersenyum. Ia hargai keterusteranganku dengan menunjukkan deretan pancing yang jauh lebih murah.

        Tetapi pemilik toko menipuku. Ia tidak memberitahu sebelumnya, kalau tongkat pancingku tidak berguna tanpa reel atau penggulung senar. Baru setelah tongkat itu berpindah tangan, ia berkata, "Nggak sekalian beli reel-nya?" Aku pun langsung ingat sama mata kail dan timah pemberat serta karet pelampung.

        Umpan juga tidak mudah. Memang ada umpan tiruan seharga empat puluh ribu. Kutolak bukan hanya karena pemerasan tadi, tetapi lebih karena masalah prinsip. Aku tidak mau menipu ikan yang mau kutangkap. Bila harus mati, biarlah ikan-ikanku mati karena umpan benaran. Untuk itu aku terpaksa mengelilingi kota ini. Tidak ada cacing, yang ada hanya gumpalan putih busuk seharga sepuluh ribu.

        Simpul?

        Aku tahu cara mengikat kail. Namun aku juga tahu, di luar sana, pemancing sejati membuat simbul seperti pengusaha mengikat dasinya. Ada aturannya. Kucari di internet. Kuketik, "Cara membuat simpul pancing." Kupilih Uni-Knot. Petunjuknya: With the end pulled through the eye, form a loop beside the standing end. Working inside the loop, wrap the end around the standing end five times. Lubricate and pull the knot tight. Slide the knot down against the eye. Trim the end.

        Aku tidak mengerti. Tetapi sebuah link membantuku: Animasi membuat Uni Knot.

        Hari hampir gelap ketika aku duduk di pinggir drainase jalan Lingkar Luar. Jalan yang nantinya menjadi jalur khusus bagi kendaraan yang akan melintasi kota dari arah Banjarmasin maupun Sampit. Ada empat jalur yang direncanakan, dipisahkan oleh sebuah drainase dan dikelilingi jalur hijau.

        Ikan-ikan sedang tidur. Mereka tidak menyentuh umpanku. Aku duduk sabar, berharap adanya sentakan-sentakan kecil. Nihil. Tidak apa-apa, ayah sudah mengajariku seni memancing dengan kail dari kawat bengkok dan umpan sebutir nasi: Melamun tanpa kelihatan seperti melamun.

        Aku memancing.

        Hari benar-benar gelap, dan nyamuk benar-benar sudah tidak bersahabat. Kupendekkan pancingku, kumasukan ke dalam tas. Ujungnya keluar sedikit. Kubuang gumpalan busuk itu ke tengah sungai. Terdengar suara keras ketika gumpalan itu menyentuh air. Tetapi lebih keras lagi suara yang terdengar saat seekor ikan menyambarnya satu detik kemudian.

***

        "Mau mancing di mana?"

        Aku mengerti mengapa ia bertanya. Baru kemarin aku membeli alat pancing, tetapi gayaku sudah seperti ketua umum Formasi--Federasi Olahraga Mancing Seluruh Indonesia--kemana-mana bawa pancing.

        "Nggak, ini hanya mau mengantar adik."

        "Saya pikir naik pesawat karena mau mancing di mana, gitu lho," katanya.

        Tanpa logat khas itupun, aku tahu apa sukunya. Hanya orang Batak yang berani mengejek orang yang belum dikenalnya.

        Adikku mencubit pinggangku. Aku mengerti, "Tahu rasa."

        Waktu berangkat tadi ia memprotes ujung pancing yang keluar dari tasku. Kubilang, “Ada selokan sekeliling pagar bandara.” Tidak kukatakan kalau aku tidak butuh air untuk memancing. Kemarin, setelah berhasil membuat Uni-Knot, aku sempat memancing sambil duduk di sofa ruang tamu.

        "Suka mancing, ya?" kata si Batak.

        Aku bingung menjawabnya. Kalau kujawab “ya”, aku tidak tahu apa-apa tentang memancing. Kecuali itu bagian dari permainan masa kecil. Memancing, itu seperti menunggu durian, tidak usah melakukan apa-apa, hanya duduk menunggu durian jatuh.

        Jadi tidak kujawab pertanyaannya. Aku hanya berkeluh-kesah tentang cacing yang tidak ada dan umpan busuk berwarna putih yang namanya palet.

        "Salah mencarinya. Coba di seberang jembatan. Kalau tidak salah harganya dua ratus seekor.”

        Kuampuni ia yang telah mengejekku.

***

        “Dua puluh ekor, Pak," kataku.

        Ia hitung dua puluh ekor cacing yang masih tertutup tanah sedikit. Benar-benar dihitung. Ia tidak mau rugi barang seekor.

        Kutemukan sungai kecil yang melintasi Trans Kalimantan Poros Tengah, lima kilometer dari kota. Tempat yang bagus, dari pinggir jalan, kulihat pohon rebah yang menjorok ke tengah sungai.

        Tempat sempurna untuk duduk memancing.

        Kunikmati kesunyian.

        Aku bersyukur tidak jadi membawa anti nyamuk oles. Bahkan nyamuk yang berdenging adalah bagian dari acara memancing dalam kesunyian. Benar-benar sunyi, kecuali suara mobil yang kadang lewat. Suara lain hanyalah bunyi sesuatu yang terjatuh ke air, sambaran ikan, siulan burung serta dengingan nyamuk. Kadang kurasakan sedikit sentakan di tangkai pancing. Tetapi aku yakin hanya ikan tolol serakah yang tertangkap pancingku. Cacing yang kutancapkan di kail begitu panjang menjulur.

        Ketika senja tiba, aku pulang.

Purnawan Kristanto's picture

@AP: cacing kok beli?

Memang ada umpan tiruan seharga empat puluh ribu. Kutolak bukan hanya karena pemerasan tadi, tetapi lebih karena masalah prinsip. Aku tidak mau menipu ikan yang mau kutangkap. Bila harus mati, biarlah ikan-ikanku mati karena umpan benaran.

Ha..ha..ha.. saya suka lelucon ini.

Dulu sewaktu belum menikah, saya senang sekali memancing. Hampir setiap kubangan air yang ditemui saya tongkrongi. Siapa tahu ada ikannya. Umpannya ya seperti kebanyakan memakai cacing. Cukup membongkar tanah di dekat comberan, pasti ada cacing.  Makanya saya heran kalau AP masih harus beli cacing. Apalagi harganya cukup mahal. Apakah di Kalimantan sulit mencari cacing? Kalau nggak ada cacing, saya biasanya memakai laron, jangkrik, telur semut atau umpan bikinan sendiri (ubi rebus, putih telur, telur semut). 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

anakpatirsa's picture

Kota Berpasir

Di kalimantan cacing memang banyak. Namun kebetulan saya tinggal di kota berpasir. Sulit mencari cacing di sini. Kebanyakan lahan kosong isinya kalau bukan gambut hanyalah tumbuhan ilalang.

Kalau di kampung saya, cacing juga tinggal digali di comberan belakang dapur. Cacing melimpah di sana. Selain cacing, banyak umpan yang bisa dipilih. Hanya saja, saya jijik dengan ulat yang melekat di daun pisang (kepompong). Kalau telur semut merah? Semut-semutnya melakukan perlawanan sehingga akan mendapat beberapa gigitan ketika saya mengusik sarang mereka. Jangkrik? Hanya sekali saya pakai, setelah itu tidak lagi, saya jijik melihat cairan bening yang keluar dari tubuh jangkrik ketika ditancap ke kail.

Jadi, cacing adalah pilihan terbaik. Saya tidak jijik memegang cacing.

ebed_adonai's picture

@AP: Mancing Mania...

Di Kalimantan, memang surganya bagi yang hobi mancing. Nggak tau kenapa, rasa-rasanya dari 5 teman-teman saya di sana, paling tidak 4 orang mesti hobi memancing. Apa karena banyak rawa dan sungai ya? Smile

Di rumah saja, dua abang saya (satu sudah alm.) dan adik laki-laki hobi banget mancing. Kebetulan rumah kami dulu bersebelahan dengan kuburan. Samping kiri kuburan Cina (sekarang sudah jadi ruko), sebelah kanan kuburan muslim (masih ada), dan di depan bekas kuburan jaman Belanda yang sekarang sudah jadi ruko juga. Kata orang itu lokasi nggak baik untuk membangun rumah. Tapi karena harga tanahnya murah, dan sesuai untuk kantong alm. bapak kami (taulah berapa gaji wartawan jaman dulu), kami mendirikan rumah di situ.

Waktu senggang, abang-abang dan adik saya sering banget cari cacing di sekitar kuburan situ. Kalau saya perhatikan, menggalinya juga nggak perlu dalam-dalam. Dikeruk sedikit pake tangan kosong, udah dapet cacing bergulung-gulung (hiiiiiii.... Tongue out). Paling seru kalau menyimak usaha mereka menarik cacing-cacing itu dari bongkahannya. Cacing Kalimantan montok-montok dan puanjaangg banget. Sering jadi putus di tengah, kalau nggak hati-hati, hehe.

Mancingnya juga nggak jauh-jauh. Di sekitar rumah kami ada sungai kecil (parit, kalau orang Kalimantan bilang). Meski nggak hobi mancing (geli ngeliat cacing), tapi saya enjoy juga menikmati kegirangan mereka saat ada ikan gabus/lele (atau ular! yang belang-belang itu lho, banyak banget di Kalimantan) nyangkut di kail atau jala yang mereka tebar sebelumnya...

Sejenak jadi merasa pulang ke Kalimantan membaca blognya AP... Laughing

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)

Purnawan Kristanto's picture

Orgasme orang memancing

Orgasme orang memancing adalah ketika bertarung melawan ikan. Sensasi getaran senar yang menjalar di joran karena perlawanan ikan adalah ganjaran yang didapat pemancing setelah menunggu dalam keheningan selama berjam-jam. Itu sebabnya saya tidak begitu suka memancing di kolam ikan yang dipelihara orang. Selain karena harus membayar, memancing di kolam pemancingan juga tidak menjanjikan perlawanan ikan yang ganas. Ikannya terlalu jinak. Begitu umpan dicelup langsung disambar.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

ebed_adonai's picture

@PK: Yepp..

Yepp.. Smile

Bener. Saya bisa menangkap itu mas. Saya masih ingat bener bagaimana gegernya dulu abang-abang saya itu menarik-narik pancingan kalau sudah ada gabus yang melahap umpannya. Begitu juga girangnya mereka saat menarik jala, pas tau ada ikan gabus atau sepat (gak tahu apa namanya di Jawa sini) yang nyangkut, walau kecil-kecil. Belum lagi kalau kalau ternyata ada ular yang ikut nyangkut. Wuihhh, seruuu. Tapi yang paling seru saya lihat waktu mereka mancing belut. Kayaknya melawannya gigih banget itu belut. Kalau main tarik paksa bisa putus tali pancingannya. Sudah dapat pun, perjuangan belum berhenti. Kailnya lumayan jauh masuk ke dalam perut belutnya, jadi sulit banget untuk ditarik keluar...

__________________

(...shema'an qoli, adonai...)

Purnawan Kristanto's picture

ikan gabus atau sepat (gak

ikan gabus atau sepat (gak tahu apa namanya di Jawa sini)

ikan gabus= kutuk; Sepat ya biasanya disebut sepat atau kalau masih kecil ya disamakan ratakan iwak wader.

__________________

------------

Communicating good news in good ways

anakpatirsa's picture

Cacing yang Montok

Di kota ini, setiap sore, jalanan penuh orang membawa pancing. Kebanyakan memancing agak di luar kota, tetapi ada juga yang memilih memancing di depan rumah. Karena di setiap jalan pasti ada paritnya. Melihat orang duduk berderet di pinggir parit, merupakan pemandangan biasa di kota ini. Terutama di hari minggu.

Cacing kalimantan montok-montok dan panjang-panjang? Benar. 

mikael1067's picture

Cacing Kalimantan

maaf kalo OOT :)

Waktu ane kecil, ane tinggal di Kalimantan. Seingat ane, yang bisa dipancing nggak hanya  ikan, tapi belut juga. Entah bagaimana, dengan kail yang cukup gede, mereka bisa "memancing" belut yang ada di rawa-rawa. Herannya, orang asli sana nggak makan belut ya? Koq belut yang segede-gede itu umumnya dijual pada para pendatang?

__________________

Allah itu kasih

Koleksi Foto Sepur Saia

anakpatirsa's picture

Lele? Ya.

Saya tidak tahu kalau orang Dayak tidak suka belut.

Kalau lele, ya. Tetapi itu dulu. Orang Dayak tidak makan lele karena lele itu makanannya tahi. (Padahal ada juga ikan lain yang makan tahi, namanya ikan saluang, tetapi dimakan).

Sekarang, lele sudah menjadi makanan orang Dayak.

 

ronggowarsito's picture

Memancing

Memancing, itu seperti menunggu durian, tidak usah melakukan apa-apa, hanya duduk menunggu durian jatuh.

Untuk quote yang satu ini saya ngga setuju. Hehehe... Bagi keluarga besar kami, memancing adalah hobi turun-temurun. Kata eyang kakung saya, memancing itu 90%-nya persiapan dan 10%-nya nasib. Artinya, segala bentuk persiapan, termasuk usaha mencari lokasi yang tepat, pemakaian umpan yang sesuai dengan target yang diinginkan, dan teknik memancing yang cocok sudah merupakan kegiatan memancing. Dapat ikan atau tidak, itu baru nasib yang berperan.

__________________

salam hangat,
rong2

anakpatirsa's picture

Setuju

Saya setuju kalau Anda tidak setuju.

Makanya saya tidak pernah berani mengatakan "suka memancing."

Karena saya punya pandangan sendiri tentang memancing. Saya tidak tahu apa-apa tentang memancing. karena bagi saya, memancing adalah duduk santai. Saya tidak peduli dapat ikan atau tidak. Yang penting memancing saja. Kalau memilih tempat, saya tidak peduli ada ikan atau tidak. Saya hanya peduli tempatnya harus enak untuk duduk terkantuk-kantuk.

X-1's picture

duh! jadi pengen!!

mancing! 3 th ga pergi mancing ikan, tp mancing kerusuhan! ha ha ha... enak kalo habis mancing, trus bengong di pinggir kolam pancing sambil nungguin ikannya dimasak sama si empunya kolam..

duh jadi pengen...

__________________

mari gila bersama-sama dengan warna merah, kuning, hijau, dan biru..

 

 

Geadley Lian's picture

juga

salah satu hobi gw juga ni

__________________

geadley